Jurnal Psikologi Udayana 2016, Vol. 3, No. 2, 244-260 Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana ISSN: 2354 5607 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN Komang Try Damayanti dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana trydamayanti27@gmail.com Abstrak Leukemia limfoblastik akut merupakan salah satu jenis kanker darah yang memegang persentase sebesar 65% dari seluruh kejadian leukemia pada anak (Muhtadi, 2014). Gejala penyakit serta efek terapi pengobatan yang harus ditempuh dalam jangka waktu minimal dua tahun menuntut anak agar dapat berjuang demi kesembuhannya (Wawancara pre-eliminary study). Seringkali situasi dan kondisi yang dialami anak dengan leukemia limfoblastik akut selama menjalani terapi pengobatan bertolak belakang dengan kepribadian anak, seperti halnya kondisi fisik yang lemah menghalangi anak untuk dapat bermain sepuasnya. Dengan demikian, anak perlu untuk melakukan suatu usaha untuk mengatasi kondisi yang tidak menyenangkan selama menjalani terapi pengobatan. Usaha tersebut disebut dengan strategi coping (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Gamayanti (2006) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki coping yang baik akan meningkatkan kelancaran proses terapi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak setelah sembuh. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran strategi coping pada anak dengan leukemia limfoblastik akut dalam menjalani terapi pengobatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan desain penelitian studi kasus. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi serta dokumentasi pada dua anak leukemia limfoblastik akut. Guna memperkuat data penelitian, teknik wawancara difokuskan pada dua significant others anak dengan leukemia limfoblastik akut. Hasil dalam penelitian ini diperoleh bahwa anak dengan leukemia limfoblastik akut menunjukkan strategi coping. Gambaran strategi coping secara lengkap akan dibahas sesuai dengan situasi dan kondisi anak selama menjalani terapi pengobatan. Kata kunci: Strategi coping, anak dengan leukemia limfoblastik akut Abstract Acute Lymphoblastic Leukemia is a type of blood cancer that holds a percentage of 65% of all childhood leukemia incidence (Muhtadi, 2014). Symptoms of the disease and the therapeutic effects of treatment that must be taken in a minimum period of two years, requires children to fight for his recovery (Pre-eliminary interview study). Often the circumstances experienced by children with acute lymphoblastic leukemia during therapy treatment is contrary to the child's personality. Thus, children need to make an effort to overcome the unpleasant condition during therapy treatment. The effort is called the coping strategies (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Gamayanti (2006) revealed that children who have good coping would improve the continuity of the therapy process and to give effect to the development of children after recovery. According to this fact, the researcher want to determine how the coping strategies in children with acute lymphoblastic leukemia during therapy treatment. This study is qualitative research with case study design. Interview, observation, and documentation are used to collecting data, of two children with acute lymphoblastic leukemia. In order to strengthen the data, interview techniques focused on two significant others of children with acute lymphoblastic leukemia. The results in this study shows that children with acute lymphoblastic leukemia has a coping strategy. A complete overview coping strategies will be discussed in accordance with the circumstances of the child during therapy treatment. Keywords: Coping strategies, children with acute lymphoblastic leukemia 244 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN paling memalukan bagi kebanyakan anak walaupun rambut itu dapat tumbuh kembali. Sarafino dan Smith (2011) juga mengatakan bahwa dampak kemoterapi pada anak dapat menyebabkan rasa sakit yang lebih besar daripada yang dirasakan orang dewasa. Lebih lanjut efek perawatan dengan kemoterapi dapat menimbulkan gangguan jangka panjang seperti gangguan fungsi intelektual, kelainan neuroendokrin, kardiotoksisitas, gangguan sistem reproduksi serta berisiko mengalami keganasan sekunder (Bhatia dalam Savage, Riordan, & Hughes, 2008). Studi lain menyebutkan bahwa efek terapi terhadap anak dengan LLA memengaruhi kemampuan prestasi akademik dan belajar serta memiliki konsekuensi penting terhadap perkembangan emosi dan kemampuan untuk mengatasi serta pengaturan emosi (Campbell, dkk. dalam Doloksaribu, 2011). Masa kanak-kanak pada rentang usia 2-12 tahun merupakan masa anak belajar berbagai hal mengenai dasar-dasar kehidupan sehingga anak mampu dengan baik melanjutkan fase perkembangan selanjutnya. Secara keseluruhan, anak akan belajar tentang kemandirian, belajar berinteraksi dan menyesuaikan diri, belajar dari sifat egosentris menjadi dapat menerima perbedaan antara sudut pandang orang lain dengan sudut pandang diri sendiri, belajar keterampilan produktif yang bernilai didalam lingkungan, belajar berprestasi serta membangun kepercayaan diri dan sikap yang positif. Bentukbentuk emosi yang dialami anak akan memengaruhi pendapat anak mengenai dirinya. Selain itu masa kanak-kanak adalah masa bermain yaitu anak akan meluangkan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman-teman sebaya (Havighurst dalam Hurlock, 1980; Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Keberhasilan anak dengan LLA menyelesaikan tugas pada fase perkembangannya berhubungan erat dengan kondisi selama menjalani terapi pengobatan. Hal ini berangkat dari pemahaman kondisi anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan, mengalami penurunan secara fisik, yang berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari anak. Sebagai contoh, waktu bermain pada anak dengan LLA tidak akan sebanyak anak-anak normal yang tidak melakukan perawatan di rumah sakit. Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1980) kondisi kesehatan yang buruk akan menghalangi anak beraktivitas dengan kelompok sehingga menimbulkan rasa rendah diri dan terbelakang. Hockenberry dan Wilson (dalam Suryati, 2010) juga mengungkapkan bahwa aspek psikososial dari hubungan interpersonal, stres dan coping pada anak juga ikut memengaruhi tumbuh kembang anak. Selama menjalani terapi pengobatan, kualitas hidup anak dengan LLA penting untuk diperhatikan, dengan mempertimbangkan dampak penyakit dan dampak terapi yang dijalani terhadap kualitas fisik, psikologis, dan sosial anak (Varni dalam Savage, Riordan, & Hughes, 2008). Anak yang memahami penyakit dan proses pengobatannya memiliki LATAR BELAKANG Kanker merupakan penyakit yang ditakuti oleh banyak orang, karena kata “kanker” seringkali diasosiasikan dengan kematian (Burish, Meyerowitz, Carey, & Morrow, dalam Sarafino & Smith, 2011). Menurut data Union for International Cancer Control (UICC) (Pusat Data & Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015) setiap tahun terdapat sekitar 176.000 anak yang didiagnosis kanker diseluruh dunia, sementara 11.000 kasus kanker anak terdapat di Indonesia. Leukemia limfoblastik akut memegang persentase sebesar 65% dari seluruh kejadian leukemia pada anak (Muhtadi, 2014). Leukemia limfoblastik akut yang kemudian disebut LLA adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, yaitu sel-sel pada keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang (Muhtadi, 2014). Sel abnormal pada penyakit leukemia menyebabkan gejala kelainan sumsum tulang belakang serta infiltrasi terhadap organ-organ (Hoffbrand & Moss, 2011). Wong (2008) menyebutkan gejala umum yang dapat terjadi seperti pucat, sering mengalami demam, pendarahan, pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran perut, nyeri tulang, penurunan berat badan, anoreksia serta kelelahan. Terapi pengobatan pada LLA dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Jones (Faozi, 2010), apabila anak positif menderita LLA harus dilakukan terapi pengobatan yang cukup panjang yaitu sekitar 2-3 tahun. Selain itu, pengobatan anak dengan LLA dilakukan dengan berbagai prosedur terapi, seperti terapi pendukung umum dan terapi khusus (Hoffbrand & Moss, 2011). Berdasarkan informasi yang dipublikasikan oleh Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional (2009), rambut rontok, mual, muntah, penurunan jumlah sel darah merah, penurunan jumlah sel darah putih, penurunan jumlah trombosit, luka pada dinding rongga mulut atau saluran cerna, serta gangguan saraf tepi seperti kebas dan kesemutan dijari tangan dan kaki merupakan efek samping diberikannya kemoterapi sebagai salah satu prosedur terapi pengobatan LLA. Pada penelitian yang dilakukan oleh Doloksaribu (2011), disebutkan beberapa respon fisiologis yang muncul akibat terapi pengobatan pada anak dengan LLA yaitu merasa lemah, pegal, pusing, sakit, nafsu makan menurun, mual, muntah, sariawan, makanan terasa tidak enak, diare dan demam, serta respon psikologis yaitu tidak betah dengan kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan, tidak ada kegiatan, merasa kesal saat ditanya-tanyai, menolak tindakan terapi, takut akan kelumpuhan, mengalami trauma, sedih karena ingin sekolah, merasa khawatir, aktivitas yang dibatasi, tidak bisa bermain, dan rasa berduka sekaligus kekhawatiran karena adanya teman yang meninggal. Menurut Spinetta (dalam Sarafino & Smith, 2011), kehilangan rambut karena proses kemoterapi dapat menimbulkan trauma hebat dan merupakan pengalaman yang 245 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati mekanisme coping yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak memahami penyakitnya dan anak dengan leukemia yang sedang menjalani terapi pengobatan membutuhkan sumber-sumber coping untuk dapat mengurangi stres (Doloksaribu, 2011). Anak yang memiliki coping yang baik akan meningkatkan kelancaran proses terapi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak setelah sembuh (Gamayanti, 2006). Strategi coping sendiri merupakan suatu usaha untuk mengatasi suatu kondisi yang tidak menyenangkan (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Menurut Carver, Scheier, dan Weintraub (1989), terdapat 14 strategi coping, antara lain active coping, planning, suppresion of competing, restraint coping, positive reinterpretation, acceptance, focusing on and venting of emotions, behavioral disengagement, mental disengagement, alcohol-drug disengagement, turning to religion, seeking social support for instumental reason, seeking social support for emotional reason, dan denial. Guna mendapat gambaran dilakukan atau tidaknya strategi coping oleh anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan, peneliti melakukan pre-eliminary study pada dua pasien anak. Subjek pertama berinisial KD, seorang pasien LLA berusia tujuh tahun empat bulan yang menjalani terapi pengobatan di RSUP Sanglah. Wawancara dilakukan kepada significant others yang pada penelitian ini berperan sebagai responden yaitu ibu KD pada 17 Desember 2015. KD berasal dari Gianyar, Bali. Selama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit, sehari-harinya KD ditemani oleh sang ibu. KD merupakan seorang pasien LLA yang mengalami kambuh pada penyakitnya. Pada awalnya, KD terdiagnosa LLA diusia yang ke-empat tahun enam bulan. KD kemudian menjalani seluruh tahap terapi pengobatan selama lebih dari dua tahun dengan hasil terdapat 6% sel leukemia pada tubuhnya. Dua bulan setelah menyelesaikan tahap terapi pengobatan, KD dinyatakan kambuh sehingga KD diharuskan mengulang menjalani terapi pengobatan dari tahap pertama. Saat ini KD memasuki tahun ke-tiga dalam menjalani terapi pengobatan. KD memunculkan beberapa gejala klinis maupun keluhan pada saat awal diagnosa LLA dan juga selama menjalani terapi pengobatan, seperti terasa lemas, pucat, suhu tubuh tinggi, penurunan kadar hemoglobin, berat badan menurun, pembengkakan pada hati, nafsu makan menurun dan juga mengalami gusi berdarah. Selain itu, dikatakan pula KD menunjukkan perilaku menolak atau susah untuk makan ataupun minum. Pada saat merasa kepanasan diruang perawatan, KD akan meminta tolong kepada ibu untuk menghidupkan kipas. Seringkali KD menangis ketika meminta sesuatu atau saat merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya. Dikatakan pula, KD sempat menolak minum obat dan menolak untuk menjalani terapi pengobatan. Perilakuperilaku tersebut menunjukkan salah satu cara yang dilakukan KD ketika menghadapi situasi dan kondisi tertentu, sehingga dapat peneliti simpulkan KD menunjukkan strategi coping selama menjalani terapi pengobatan (Wawancara preeliminary study, 2015). Subjek kedua berinisial AMB, seorang pasien LLA berusia delapan tahun empat bulan yang menjalani terapi pengobatan di RSUP Sanglah. Wawancara dilakukan kepada significant others yang pada penelitian ini berperan sebagai responden yaitu ibu AMB pada 6 Februari 2016. AMB berasal dari Sumba. Selama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit sehari-harinya AMB ditemani oleh sang ibu. AMB sempat selama dua bulan mengenyam pendidikan di kelas tiga SD namun karena terdiagnosa LLA dan menjalani terapi pengobatan yang intensif di rumah sakit mengharuskan AMB mengambil cuti pada sekolahnya. AMB merupakan seorang pasien LLA yang telah menjalani terapi pengobatan selama lebih dari dua bulan dan saat ini memasuki bulan ke-tiga terapi pengobatan. Pada saat didiagnosa, jumlah sel leukemia pada AMB adalah sebanyak 20%, namun saat melakukan preeliminary study jumlah sel leukemia pada AMB berjumlah 3%. AMB memunculkan beberapa gejala klinis maupun keluhan pada saat awal terdiagnosa LLA dan selama menjalani terapi pengobatan, seperti terasa lemas, pucat, tidak bergairah, berat badan menurun, suhu tubuh tinggi, nafsu makan menurun dan mengalami mimisan. Selama menjalani terapi pengobatan, dikatakan pula AMB menunjukkan perilaku menolak untuk makan ataupun minum tetapi kemudian secara bertahap nafsu makannya bertambah. AMB sering kali memberitahu secara langsung kepada ibu ketika tidak nyaman dengan kondisinya dan meminta bantuan ibu untuk memenuhi keperluannya. AMB menelepon sendiri atau meminta kepada ibu agar menelepon ayahnya saat merasa kangen dengan sang ayah. AMB menunjukkan perilaku menurut ketika memang waktunya minum obat, dan dikatakan pula AMB lebih mudah menangis maupun mudah marah selama menjalani terapi pengobatan. Perilaku-perilaku tersebut menunjukkan sebagai salah satu cara yang dilakukan AMB ketika menghadapi situasi dan kondisi tertentu, sehingga dapat peneliti simpulkan AMB menunjukkan strategi coping selama menjalani terapi pengobatan (Wawancara pre-eliminary study, 2016). Berdasarkan paparan hasil pre-eliminary study, didapatkan informasi bahwa anak dengan LLA yang sedang menjalani terapi pengobatan, melakukan perilaku tertentu untuk menghadapi kondisinya.Kondisi dan situasi yang dialami anak dengan LLA yang ditimbulkan oleh gejala penyakit, prosedur pengobatan, efek samping dan efek jangka panjang pengobatan, menuntut anak untuk mampu menghadapinya. Selain itu tugas perkembangan juga menuntut anak agar mampu menangani kondisi dan situasi tersebut, salah satunya dengan cara melakukan strategi coping. Anak perlu didorong untuk menyadari kemampuan coping yang dimilikinya, sehingga diharapkan anak mampu melaksanakan terapi 246 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN pengobatan secara kooperatif dan mampu menghindari atau mengurangi dampak jangka panjang yang memengaruhi kualitas hidup serta perkembangan masa depan anak itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penggalian informasi secara langsung dan mendalam mengenai gambaran strategi coping pada anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan. Dengan demikian peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Strategi Coping Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut dalam menjalani Terapi Pengobatan”. Pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran strategi coping yang mampu dilakukan anak dengan leukemia limfoblastik akut dalam menjalani terapi pengobatan? intervensi, sebuah sekolah, bahkan suatu negara atau pemerintahan (Willig, 2008). Unit analisis dalam penelitian ini adalah kelompok yang berfokus pada gambaran strategi coping yang dimiliki oleh anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan. Subjek dan Tempat Penelitian Teknik yang digunakan untuk penentuan subjek dan responden dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2014). Adapun karakteristik subjek yang akan menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan data adalah sebagai berikut: 1. Anak (usia 2-12 tahun) dengan diagnosa LLA. 2. Sedang menjalani terapi pengobatan LLA. Responden dalam penelitian ini akan dipilih pihakpihak yang merupakan significant other yang merawat langsung subjek selama sakit, yaitu: 1. Ibu dari subjek penelitian. Tempat Penelitian akan disesuaikan dengan tempat dimana subjek menjalani terapi pengobatan, yaitu Ruang Pudak RSUP Sanglah Denpasar-Bali. METODE Tipe Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Moleong (2004) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena suatu pengalaman subjek penelitian dengan segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, yang secara holistik dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Berdasarkan definisi diatas, maka penelitian kualitatif sesuai untuk mengetahui gambaran strategi coping anak dengan leukemia limfoblastik akut (LLA) dalam menjalani terapi pengobatan. Strategi coping adalah hal yang bersifat subjektif yang dapat dirasakan berbeda antara satu individu dengan individu lain, sehingga diharapkan peneliti memperoleh gambaran secara komprehensif dan mendalam, serta memahami anak dengan segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif. Teknik Penggalian Data Penggalian atau pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu: 1. Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data pewawancara (peneliti) dalam mengumpulkan data mengajukan suatu pertanyaan kepada yang diwawancarai (Sugiyono, 2014). Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) berupa wawancara semi terstruktur. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan bantuan pedoman wawancara untuk memudahkan dan memfokuskan pertanyaan yang akan diutarakan. Peneliti juga menggunakan alat bantu rekam untuk memudahkan dalam proses pengolahan data. 2. Observasi Moleong (2004) menyebutkan bahwa alasan secara metodologis pada penggunaan observasi ialah observasi mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya, observasi memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian, observasi memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek, serta observasi memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama, baik dari pihak pengamat maupun dari pihak subjek. Observasi dapat diklasifikasikan menjadi observasi partisipan dan observasi non-partisipan, serta observasi terbuka dan observasi tertutup (Moleong, 2004). Pada Pendekatan/Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus. Basuki (2006) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan kajian mendalam tentang peristiwa, lingkungan dan situasi tertentu yang memungkinkan mengungkapkan atau memahami suatu hal. Dengan demikian studi kasus memiliki keunggulan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran strategi coping yang mampu dilakukan anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan. Unit Analisis Unit analisis dalam pendekatan studi kasus dapat berupa kasus pada sebuah organisasi, sekumpulan orang, sebuah komunitas, seorang pasien atau klien, sebuah 247 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati penelitian ini teknik observasi yang digunakan adalah observasi non-partisipan dan observasi terbuka. 3. Dokumentasi Dalam penelitian kualitatif, studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara, dimana hasil penelitian dari observasi atau wawancara akan lebih kredibel apabila didukung oleh sejarah pribadi kehidupan, maupun situasi subjek saat ini (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian kualitatif, peneliti mengandalkan observasi dan wawancara dalam proses penggalian data selama di lapangan, oleh karena itu peneliti juga menggunakan catatan lapangan (field note). Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2004), catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data. disalin oleh Word. peneliti dalam bentuk Microsoft Teknik Analisis Data Strauss dan Corbin (2009) mengatakan bahwa pengkodean merupakan proses penguraian data, pengkonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Adapun pengkodean yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengkodean yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin (2009), sebagai berikut: 1. Pengkodean berbuka (open coding) Proses ini merupakan proses awal untuk memberikan kode-kode pada seluruh teks, baik yang berasal dari verbatim wawancara maupun fieldnote. Setiap respon jawaban dan tingkah laku yang diberikan oleh subjek maupun responden akan diberikan kode-kode sesuai dengan perkataan atau jawaban subjek. Teknik ini dinamakan dengan in-vivocoding, yang mana peneliti memberikan kode murni sesuai dengan respon jawaban subjek atau responden dengan meminimalisir intepretasi dan pengantian kalimat subjek atau responden untuk menjadi sebuah kode data. 2. Pengkodean berporos (axial coding) Pengkodean berporos adalah seperangkat prosedur penempatan data kembali dengan cara-cara baru setelah pengkodean berbuka, yaitu membuat kaitan antar-kategori. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan paradigma pengkodean yang mencakup kondisi, konteks, strategi aksi atau interaksi, dan konsekuensi. Hasil dari axial coding ini yang kemudian disebut tema-tema penelitian. 3. Pengkodean berpilih (selective coding) Proses pemilihan kategori inti yang mana di dalamnya berupa pengaitan kategori inti terhadap kategori lainnya secara sistematis, pengabsahan hubungan, dan mengganti kategori yang perlu diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut. Teknik Pengorganisasian Data Adapun pengorganisasian data yang peneliti lakukan dalam rangka melakukan penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: 1. Peneliti datang ke lokasi pengambilan data dengan membawa panduan wawancara dan lembar observasi yang telah disiapkan sebelumnya. 2. Selama proses pengambilan data, peneliti akan menggunakan bantuan kamera handphone untuk memotret aktivitas subjek, kemudian menggunakan alat perekam suara dalam merekam wawancara bersama responden. Peneliti juga membawa alat manual seperti buku catatan dan ATK (sesuai kebutuhan). 3. Untuk seluruh kebutuhan data-data penelitian, peneliti akan membuat satu folder yang bernama “SKRIPSI” di flashdisk peneliti kemudian setelah setiap selesai pengerjaan akan langsung dipindahkan ke local disk laptop peneliti. Dari folder utama tersebut akan dibuatkan folder-folder khusus yang akan memisahkan bagian-bagian data seperti folder “referensi”, “verbatim, audio, field note”, dan “others”. Demi mencegah hal yang tidak diinginkan, peneliti akan membuat backup data dengan bantuan fitur google drive yang telah peneliti miliki. 4. Setiap selesai mengambil data, peneliti akan memindahkan hasil data yang diperoleh di lapangan baik berupa audio maupun foto ke laptop. 5. Data audio sebagai hasil wawancara yang sudah dipindahkan ke laptop akan didengarkan kembali oleh peneliti yang kemudian akan dibuatkan verbatim. 6. Data hasil observasi yang masih berupa field note lapangan (tulisan tangan pada lembar observasi) akan Kredibilitas Penelitian Terdapat beberapa macam cara pengujian kredibilitas data terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, teknik triangulasi data, menggunakan bahan referensi, analisis kasus negatif, dan membercheck (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini, teknik pengujian kredibilitas penelitian menggunakan cara: 1. Peningkatan ketekunan dalam penelitian, yaitu melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan, sehingga kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara sistematis dan pasti. Hal tersebut peneliti lakukan dengan 248 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN 2. 3. melaksanakan proses pengambilan data baik wawancara maupun observasi lebih dari satu kali pertemuan dengan subjek penelitian. Triangulasi, yaitu berupa pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu. Triangulasi sumber yang akan peneliti lakukan dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari subjek penelitian (anak dengan LLA) dan responden penelitian (significant others yaitu yang merawat anak selama sakit). Triangulasi teknik dapat dilakukan dengan menguji kredibilitas data dengan mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Pada trianggulasi teknik, peneliti akan melakukan observasi kemudian dicek dengan wawancara. Triangulasi waktu akan dilakukan pengecekan dengan observasi dan wawancara dalam waktu atau situasi yang berbeda. Diskusi rekan sejawat, teknik ini dilakukan dengan melaporkan hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk analitik dengan dosen pembimbing dan rekan-rekan sesama peneliti kualitatif. 5. Hasil yang diperoleh tidak direkayasa dan dipublikasikan dalam bentuk original, serta peneliti tidak menyembunyikan data yang mendasari kesimpulan setelah hasil penelitian diterbitkan. HASIL PENELITIAN 1. Latar Belakang Subjek Subjek I (KD) merupakan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun empat bulan dengan karakteristik fisik berbadan kurus, kulit sawo matang, rambut lurus berwarna hitam, dan memiliki mata bulat dengan bola mata berwarna hitam. KD adalah anak kedua dari dua bersaudara, yang hanya terpaut satu tahun dengan sang kakak. KD lahir pada tanggal 16 Agustus 2008, dan berasal dari Gianyar-Bali. Ayah KD merupakan seorang pengrajin sedangkan ibu KD membantu ayah berjualan, namun sejak KD mengalami LLA ibu KD lebih memfokuskan merawat KD. Sejak lahir, KD tidak pernah mengalami sakit yang mengharuskan menjalani opname di rumah sakit, hanya saja pada saat lahir kelahiran KD mundur dari prediksi dokter dan ibu KD melakukan persalinan dengan operasi caesar (Axialcodinglatarbelakangsubjek &respondenKD). Subjek II (AMB) merupakan seorang anak perempuan berusia delapan tahun empat bulan yang memiliki karakteristik fisik ukuran badan cukup berisi, kulit sawo matang agak gelap, rambut agak bergelombang berwarna hitam, dan memiliki mata bulat dengan bola mata berwarna hitam. AMB adalah anak ketiga dari empat bersaudara. AMB lahir pada 2 Oktober 2007 dan berasal dari Sumba-Nusa Tenggara Timur. Ayah dan ibu AMB adalah seorang petani dengan kegiatan sehari-hari sepeti menimba air, memasak, mencari kayu api dan bekerja di kebun. Sejak AMB menjalani terapi pengobatan di rumah sakit, ibu merawat AMB sehingga pekerjaan rumah diambil alih oleh sang ayah. Isu Etik Dalam pelaksanaan pengambilan data penelitian, etika yang dianut peneliti berpedoman dengan kode etik penelitian dan publikasi Psikologi Indonesia (Himpsi, 2010). Peneliti menyusun dan menuliskan rencana penelitian sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Peneliti membuat desain penelitian, melaksanakan, melaporkan hasil yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etika penelitian. Adapun hal-hal yang perhatikan dalam penelitian ini adalah: 1. Peneliti bertanggungjawab atas pelaksanaan dan hasil penelitian yang dilakukan, serta memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan subjek maupun responden penelitian atau pihak-pihak terkait. 2. Peneliti memenuhi izin penelitian dari instansi terkait yaitu RSUP Sanglah sehinngga diperkenankan untuk melakukan penelitian. 3. Diperolehnya persetujuan dan kesediaan subjek maupun responden penelitian sebagai partisipan penelitian, yang dilakukan bersifat sukarela sehingga memungkinkan pengunduran diri maupun penolakan. 4. Partisipan menyatakan kesediaannya dalam bentuk tertulis pada informed consent yang telah disiapkan oleh peneliti. Informed consent berisikan informasi yang jelas mengenai tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, keuntungan yang dapat peneliti berikan kepada partisipan, dan konsekuensi yang mungkin didapat selama pengambilan data penelitian. 2. Situasi Menjalani Terapi Pengobatan Subjek I merupakan salah satu pasien LLA yang menjalani perawatan di Ruang Pudak RSUP Sanglah, Denpasar-Bali. Subjek I terdiagnosa mengalami LLA sejak bulan Februari tahun 2013. Pada saat itu subjek I berusia empat tahun enam bulan. Awalnya, subjek I mengalami beberapa gejala seperti suhu badan yang tinggi dan terlihat lemas.Setelah dibawa ke puskesmas, kondisi subjek I tidak mengalami perubahan, suhu badan subjek I tetap tinggi. Subjek I kembali dibawa ke dokter umum lainnya dan ke dokter spesialis anak. Setelah mendapat pemeriksaan, hasil tes menyatakan kadar hemoglobin dalam darah subjek I rendah, sehingga saat itu subjek I didagnosa mengalami anemia dan diharuskan opname di rumah sakit di Gianyar, Bali. Subjek I menjalani opname selama dua minggu. Kondisi kaki yang kurus dan perut yang terus membesar, menyebabkan subjek I 249 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati tidak mampu berjalan sendiri. Setelah mendapat beberapa pengobatan medis, akhirnya diberitahukan bahwa terjadi pembengkakan pada limpa subjek I. Kemudian subjek I dirujuk ke RSUP Sanglah. Setelah mendapat penanganan di RSUP sanglah, diketahui bahwa subjek I mengalami LLA. Subjek I kemudian dirawat selama kurang lebih dua tahun untuk menyelesaikan seluruh tahap terapi pengobatan LLA. Tiga bulan pertama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit, subjek I mendapat perawatan secara intensif. Ibu subjek I menyatakan bahwa saat itu merupakan tahap penyembuhan. Jika kondisi subjek I terlihat stabil maka diperbolehkan pulang, namun itupun tidak lama, hanya berselang dua hingga empat hari. Hal tersebut membuat subjek I sering kali menginap di yayasan atau rumah singgah khusus pasien kanker yang berada di dekat rumah sakit agar tidak terlalu jauh pulang ke Gianyar. Hal tersebut pula dilakukan untuk menghindari panjangnya antrean pagi di loket rumah sakit. Selama menjalani terapi pengobatan, subjek I sering kali mengalami kemunduran jadwal penanganan medis. Hal tersebut dikarenakan oleh kondisi subjek I yang tidak memungkinkan untuk mendapat terapi pengobatan, seperti ketika suhu badan meningkat maka terapi pengobatan tertentu tidak dapat dilakukan. Jika hal itu terjadi maka subjek I harus opname lebih lama dari jadwal seharusnya. Selain itu, ketersediaan waktu orangtua dan kemauan subjek I menjalani terapi pengobatan memengaruhi kemunduran jadwal penangan medis. Selama menjalani terapi pengobatan tahap akhir, yaitu saat berusia sekitar enam tahun, subjek I mengenyam pendidikan anak usia dini di sebuah taman kanak-kanak di Gianyar, Bali. Jika pada waktunya subjek I harus ke RSUP Sanglah untuk mendapat terapi pengobatan, maka subjek I izin dari sekolahnya. Menurut ibu, subjek I adalah anak yang pintar dan lebih pintar dibandingkan dengan kakak. Selain keluarga, guru subjek I juga mengetahui kondisi subjek I di rumah sakit. Guru subjek I sempat berkunjung ke rumah sakit sebanyak dua kali. Pada tahap terakhir terapi pengobatan, sel leukemia dalam tubuh subjek I tersisa 6%. Namun dua bulan setelah dinyatakan telah menyelesaikan seluruh tahap terapi pengobatan, subjek I kembali mengalami beberapa gejala seperti nyeri pada seluruh bagian tubuh dan sakit pada bagian mata (mata memerah dan kesakitan). Subjek I kembali diajak ke rumah sakit untuk memperoleh pemeriksaan. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa jumlah sel leukemia pada tubuh subjek I saat itu berjumlah 60%. Hal tersebut mengharuskan subjek I untuk mengulang kembali tahap terapi pengobatan yang dulu sudah diselesaikannya, maka terhitung dari awal terdiagnosa dan menjalani terapi pengobatan LLA saat ini subjek I telah memasuki tahun ke-tiga dalam menjalani terapi pengobatan (Axialcodingsituasimenjalaniterapi-KD). Subjek II merupakan salah satu pasien LLA yang menjalani perawatan di Ruang Pudak RSUP Sanglah, Denpasar-Bali. Subjek II terdiagnosa mengalami LLA pada bulan Desember 2015 di RSUP Sanglah, yang pada saat itu subjek II berusia delapan tahun dua bulan. Pada awalnya, subjek II mengalami lemas, pucat dan suhu badan yang tinggi. Setelah mendapat obat dari dokter suhu badan subjek II kembali normal tetapi beberapa hari kemudian kembali tinggi sehingga subjek II beberapa kali kembali dibawa ke dokter. Setelah di rawat oleh kakek dan nenek di Sumba, subjek II dirujuk ke rumah sakit yang ada Bali untuk mendapat penanganan yang lebih lengkap. Setibanya di Bali bersama dengan ibu, subjek II diopname di RSUP Sanglah selama kurang lebih satu minggu sebelum mendapat hasil diagnosa atas penyakit yang dialaminya. Setelah itu, subjek II dinyatakan menderita LLA dengan jumlah persentase sel leukemia sebanyak 20% (VERB-AMB02/L88). Ibu subjek II langsung memberitahukan kepada ayah dan keluarga mengenai kondisi subjek II saat itu. Subjek II kemudian menjalani terapi pengobatan LLA di RSUP Sanglah dan saat ini memasuki bulan ke-tiga. Subjek II menjalani terapi pengobatan yang intensif dimana sebagian besar waktu dihabiskan di rumah sakit. Ketika tidak ada jadwal terapi pengobatan, subjek II akan beristirahat di yayasan atau rumah singgah khusus pasien kanker yang berada di dekat rumah sakit. Selama lebih dari dua bulan menjalani terapi pengobatan, subjek II tidak pernah pulang ke Sumba dikarenakan jadwal terapi pengobatan yang masih padat (Axialcoding-situasi menjalaniterapi-AMB). Dengan kondisi badan yang berisi dan padat, banyak orang mengatakan subjek II tidak terlihat seperti orang sakit (VERB-AMB01/L252). Subjek II terlihat lebih aktif dibanding dengan pasien lain yang kebanyakan hanya berbaring ditempat tidur. Subjek II seringkali duduk baik di kursi maupun di tempat tidurnya, sambil memainkan gadget ataupun menonton televisi yang ada diruang perawatan. Walau demikian, subjek II dikatakan lebih sering menangis dan mudah marah ketika berbicara dengan ibu. Subjek II sering menangis ketika merindukan ayah dan neneknya yang berada di Sumba. Rasa rindu tersebut mampu membuat subjek II menjadi susah tidur (VERB-AMB01/L229,393). Ketika merasa rindu, subjek II akan menelepon atau sekedar mengirim pesan singkat, dan seringkali meminta agar ayahnya menjenguk subjek II ke Bali. Tidak banyak kegiatan yang dapat dilakukan di rumah sakit, namun ketika pasien lain lebih banyak berbaring dan beristirahat subjek II lebih banyak berjalan-jalan maupun melakukan aktivitas tertentu seperti bermain gadget yang di pinjamnya dari pasien lain, menonton acara televisi yang subjek sukai, atau mengobrol dengan orang-orang disekitarnya. Pada saat pagi hari setelah mandi, jika diruang perawatan tidak ada mainan yang bisa dimainkan, subjek II akan berjalan-jalan ke ruangan lain dengan kondisi infus tetap 250 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN “langsung dirujuk sini.. gimana bu e dilanjutkan disini apa langsung rujuk aja. Disini alatnya ga bisaa gitu diaa kan dirujuk sinii..kan sebenarnya langsung rujuk siniii (dengan nada kesal)”, VERB-KD01(164-165) terpasang, untuk sekedar melihat-lihat maupun mengobrol dengan pasien lain (VERB-AMB03/L606-607). Subjek II juga meminta agar dibelikan gadget sehingga dapat dimainkan selama perawatan di rumah sakit. Namun permintaan subjek II tersebut belum dapat dipenuhi oleh sang ibu karena keterbatasan biaya. Berbeda saat di rumah sakit, jika sedang berada di yayasan atau rumah singgah khusus pasien kanker, subjek II memiliki lebih banyak teman yang dapat diajak bermain dan memiliki aktivitas yang lebih beragam. Subjek II bangun jam enam pagi, lalu mandi, makan bersama selanjutnya minum obat lalu subjek II akan bermain dengan teman-temannya seperti bermain sepeda. Selanjutnya subjek II akan belajar seperti membaca, menulis maupun menggambar. Subjek II seakan lebih senang berada di yayasan atau rumah singgah terlihat dari pernyataan “ada sepeda kalau disini pasang infus ya diam aja dikamar”, (VERB-AMB03/L573). Sesekali subjek II juga merindukan teman-temannya yang ada di Sumba dan juga merindukan pelajaran yang biasa subjek II dapat di sekolahnya (VERB-AMB02/L230). Namun selama menjalani terapi pengobatan LLA, yayasan atau rumah singgah khusus pasien kanker menyediakan pendidikan untuk anak-anak yang beristirahat disana sehingga subjek II ikut serta dalam kegiatan pendidikan tersebut. Subjek II akan dinilai berdasar kemampuan akademis yang dimilikinya lalu nilai tersebut akan dikirim ke Sumba sebagai hasil belajar subjek II, sehingga saat sudah sembuh subjek II dapat langsung melanjutkan sekolahnya (VERB-AMB03/L388,394400,406,411,656-663). Selama menjalani terapi pengobatan, subjek II terlihat mengetahui nama-nama terapi pengobatan yang dijalaninya maupun obat-obat yang dikonsumsi. Subjek II mengetahui pula jadwal terapi pengobatan yang harus ditempuhnya. Selain itu, subjek II mengetahui efek samping yang muncul akibat mengonsumsi obat tertentu dan subjek II mengetahui apa yang harus dilakukan agar efek samping pengobatan tidak terlalu parah baginya. Subjek II mengetahui larangan apa yang tidak boleh dilakukan sebagai seorang pasien LLA misalnya larangan mengonsumsi makanan tertentu yang dapat berakibat buruk terhadap kondisi kesehatannya. Menurut ibu, pihak rumah sakit seharusnya tidak memberikan pilihan kepada subjek I untuk tetap mendapat penanganan dengan alat yang kurang memadai di rumah sakit tersebut melainkan langsung merujuk subjek I ke RSUP Sanglah. Selain itu, ibu subjek I sempat mengeluhkan lamanya proses penanganan sampai pada diagnosa penyakit. Hal tersebut terlihat dari pernyataan: “he ee kan dibilangnya anemia tau-tau lama dah tuu kanker darah..lama prosesnya itu (dengan nada kesal)”, (VERBKD01/L171-172) “itu mungkin sakit ininya dulu baru ditanganin padahal dokternya udah ngasi tau dokter yang yang nanganin harus cepet-cepet disuruh nangani harus cepet gitu ini hehe susternya ini ga sesek dibilang sesek”, (VERBKD02/L105-107) “hematonya mungkin salah gini nike apa namanya lagi dicari ini apa penyebabnya kan lama jadinya”, (VERBKD02/L109) Pada saat subjek I terdiagnosa, ibu subjek I menangis dan merasa takut. Ibu mengkhawatirkan lamanya waktu menjalani terapi pengobatan pada subjek I yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat bekerja dan mencari uang. Namun setelah melihat pasien lain yang mengalami hal serupa dengan subjek I, ibu mulai merasa tenang. Ibu berpikir, pasien dan keluarga lain dapat dengan “biasa aja” (VERBKD01/L228) dan pasrah menjalani terapi pengobatan di rumah sakit. Selain mendapat penanganan medis, ibu membawa subjek I ke pengobatan alternatif. Saat itu, ibu sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kemoterapi (salah satu terapi pengobatan LLA). Ibu berpikir demikian karena melihat banyak pasien lain (teman-teman sebaya subjek I) yang mengalami hal serupa dengan subjek I mengalami kegagalan dalam menjalani pengobatan, dengan kata lain banyak pasien yang telah meninggal dunia. Selain itu, kakak-kakak dari ibu subjek I turut mengatakan bahwa kemoterapi “mematikan” (VERB-KD02/L152). Namun seiring berjalannya waktu, ibu subjek I mengerti bahwa pengobatan secara medis harus tetap dijalankan. Ibu subjek I menceritakan salah satu pasien yang berasal dari Negara, sering terlsubjek IIat untuk menjalani terapi pengobatan sampai akhirnya pasien tersebut meninggal dunia. Menurut ibu subjek I, pasien meninggal dunia disebabkan karena tidak disiplin menjalani pengobatan, dalam artian pasien sering terlambat mendapat pengobatan medis. Saat ini, Ibu subjek I juga memberikan obat herbal untuk subjek I. Ibu subjek I melihat dari pengalaman pasien 3. Respons Responden Ibu subjek I sebagai orang yang merawat subjek I sehari-harinya, memiliki beberapa pandangan serta pendapat mengenai keadaan subjek I selama menjalani terapi pengobatan. Ibu subjek I sempat merasa sedikit kesal pada saat penanganan pertama sebelum subjek I terdiagnosa LLA. Saat itu subjek I mendapat penanganan di sebuah rumah sakit sebelum subjek I dipindah ke RSUP Sanglah. Hal tersebut diungkapkan oleh ibu subjek I: 251 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati lain berhasil sembuh dari penyakitnya dengan meminum obat herbal. Menurut ibu subjek I, hal yang utama adalah tetap menjalani pengobatan medis tetapi dapat dibarengi dengan mengonsumsi obat herbal. Ibu subjek I mengatakan pula bahwa selain pentingnya kedisiplinan waktu dalam menjalani pengobatan medis, pasienpun harus disiplin dengan larangan maupun kewajiban yang harus dilakukan misalnya tidak mengonsumsi makanan yang tidak diizinkan, meminum banyak air ketika mengonsumsi obat keras agar tidak menimbulkan efek samping obat dan pasien harus selalu dalam keadaan bersih agar tidak mudah terkena infeksi. Ibu subjek I mengatakan bahwa subjek I mengalami kambuh dikarenakan tidak tepat waktu menjalani terapi pengobatan. Ibu subjek I juga menyatakan jika subjek I mau mengonsumsi obat herbal dibarengi dengan pengobatan medis sejak awal dirawat maka kemungkinan subjek I sudah sembuh dan tidak mengalami kambuh. Ibu subjek I sempat memberikan obat herbal sejak pertama terdiagnosa LLA namun subjek I menolak dan ibupun tidak memaksakan. Saat ini subjek I sudah mau mengonsumsi obat herbal yang diberikan oleh ibu dan untuk kedepannya ibu subjek I tidak mau terlambat lagi dalam memberikan pengobatan medis untuk sang anak (Axialcoding-responsrespondenatauorangtuaKD). Ibu subjek II sebagai orang yang merawat subjek II sehari-hari, memiliki beberapa pandangan serta pendapat mengenai keadaan subjek II selama menjalani terapi pengobatan. Saat pertama subjek II terdiagnosa LLA, ibu subjek II kaget dan tidak menyangka bahwa anaknya akan mengalami kanker. Selain itu ibu subjek II mengkhawatirkan biaya pengobatan. Ibu berpikir bahwa uang yang dibawanya dari Sumba tidak akan mencukupi kebutuhan sehari-hari selama di rumah sakit. Ibu subjek II sempat memberitahu subjek II mengenai penyakit yang dialaminya, namun subjek II tidak terlalu menanggapi, subjek II tidak ada bertanya lebih lanjut mengenai hal tersebut (Axialcoding/ responsorangtua-AMB). secara bersamaan yang tidak kunjung sembuh saat sebelum terdiagnosa LLA, kulit terlihat agak kendor dan kisut, kesakitan pada bagian mata, sering mengalami kesemutan pada kaki, mengalami susah buang air besar dan cukup sering mengalami pendarahan pada gusi. Menurut ibu, subjek mengalami pendarahan pada gusi karena tidak mau mengonsumsi air yang banyak setelah mengonsumsi obat yang memiliki efek samping tersebut. Selain itu, pendarahan pada gusi yang dialami oleh subjek saat menjalani terapi pengobatan setelah kambuh, lebih parah dibandingkan saat menjalani terapi pengobatan sebelum kambuh, hal tersebut terlihat dari pernyataan sang ibu: “ee duluu dulu kan pernah yang duluan itu kan pernah sakit yang sebelum relaps tu, kan berdarah gamau berhenti langsung masuk darah, masuk darah itu diobatin gitu ya langsung mau berhenti kalo ini endak teruus dia berdarah tiga kali sampe, lain banget niki”, (VERB-KD02/L38-40) “iyaa dulu pernah sebelum relaps nike duluu berdarah dulu gamau makan makan apa itu yang masuk gusinya sobek dah dikit”, (VERB-KD02/L42-43) “cuma satu harii udah dapat darah mau dia berhenti tapi yang ini endak, tiga hari sampe. Sampe ampun mengental-mengental aduh besar-besar sekali ininya penuh ni langsung saya gini bingung dah malemnya tu begadang tu”, (VERB-KD02/L45-47) Selain itu, subjek cukup sering mengeluhkan sakit pada bagian tubuh tertentu misalnya sesudah menjalani tindakan medis yang memasukkan obat dari sumsum tulang belakang, subjek akan mengeluhkan sakit pada bagian punggungnya. Subjek kerap kali merasa gerah atau kepanasan didalam ruang perawatan, ketika orang lain merasa cukup sejuk berada diruangan tersebut. Subjek sering terlihat lemas dan kurang bersemangat saat dirawat di rumah sakit. Salah satu aktivitas subjek selama di rumah sakit adalah menonton acara televisi yang disukai kemudian subjek akan bercerita kepada sang ibu tentang acara tersebut. Namun apabila subjek tidak mengalami LLA subjek akan bermain dengan temantemannya (Axialcoding-gejalaklinis;responsdankondisisubjekKD). Subjek I mengalami suhu badan yang meningkat, disertai beberapa kali mimisan dan wajah yang terlihat agak pucat. Pada saat awal pengobatan, subjek terlihat lebih kurus namun seiring berjalannya waktu nafsu makan subjek semakin meningkat sehingga badan subjek I terlihat berisi. 4. Gejala Klinis LLA Selama menjalani terapi pengobatan, subjek mengalami beberapa keluhan atau gejala klinis LLA. Subjek sering kali mengalami nyeri pada sendi-sendi, perut yang membesar, suhu badan yang sering meningkat dan tidak turun dalam jangka waktu yang cukup lama, terlihat lemas dan capek serta tidak bertenaga dan juga kadar hemoglobin yang rendah. Selain itu subjek sempat mengalami kondisi kaki kurus dan perut membuncit dalam waktu yang bersamaan sehingga menyebabkan subjek tidak mampu berjalan sendiri. Subjek sempat mengalami pembengkakan pada hati dan kerusakan pada limpa, sakit perut hingga melilit ke bagian punggung, serta sakit kepala yang jika rambutnya dipegang akan terasa sakit. Subjek juga mengalami demam dan batuk 5. Strategi Coping Adapun strategi coping yang dilakukan oleh subjek selama menjalani terapi pengobatan dapat dilihat pada Gambar 2: 252 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN “tapi ga nangiiis R: tapi ga nangiiis pinter sekaliiii yang penting gimana? E2: sembuh!”, (VERB-AMB03/L195197) “E2: supaya pintar supaya cepat sembuh”, (VERBAMB03/L366) “nanti kalau sampai di sumba kalau ini apa bilaang ini apa bilang nanti ga bisaa hahaha R: iyaa hehehe E2: kalau udah baca ini apa ini apaa hahaha gatau apa yang di sebutinn”, (VERB-AMB03/L368-370) Strategi Coping – Assistance Seeking Strategi coping assistance seeking menunjukkan bahwa subjek mencari sumber dukungan kepada orang lain untuk membantu menghadapi masalah yang dihadapinya. Dalam hal ini, strategi coping assistance seeking ditunjukkan oleh subjek pada perilaku meminta tolong kepada sang ibu untuk dihidupkan kipas ketika merasa kepanasan, meminta tolong kepada ibu untuk mengelus punggung subjek ketika gatal atau sakit, dan meminta tolong ibu untuk menghidupkan televisi ketika merasa bosan. Selain itu, subjek meminta sesuatu yang diinginkan kepada sang ibu seperti misalnya meminta makanan dan meminta gadget, meminta bantuan ibu untuk menelepon ayah dan nenek yang berada di kampung halaman ketika merasa rindu, serta meminta untuk di gendong atau dipijat. Subjek mengatakan pula bahwa selain bersama ibu, dalam menjalani terapi pengobatan hingga sembuh nanti, subjek juga bersama dengan teman-teman. Adapun kutipan wawancara dan hasil observasi yang menunjukkan strategi coping seeking social support pada subjek, yaitu: “panaaass gitu minta kipas..yang lain ga pernah gitu biasabiasa ajaa jeg panas terus harus pake kipas..” (VERB-KD01/L183) “merengek menunjuk ke punggung bagian tulang belakangnya”, (VERB-SUBJEK I01/L272) “E2 meminta bantuan ibu untuk menghidupkan tv, agar ia tidak merasa bosan”, (FNOBS-KD02/No6). “pokoknya sehari itu bisa lima kali minum susu dia minta susu”, (VERB-AMB01/L204-205) “itu ga ada, cuma dia gini aja marah-marah, pokoknya apa yang dia minta harus ini”, (VERB-AMB02/L114) “Ini aja dia habis ngambek tadi, mama suruh beliin beli itu apa namanya itu yang di pake main apa game itu”, (VERB-AMB02/L126-127) “sering nangis gitu kangen sama bapanya sama neneknya begitu”, (VERB-AMB01/L393) “iya kan kadang-kadang tidak setiap hari tiap malam begitu kadang dia ingat tiba-tiba bapa dia ngomong telfon bapa datang sudah datang liat Amb..supaya bapa juga tau di Bali sinii dia bilang begitu sama bapanya hehe”, (VERB-AMB01/L397-399) b. Strategi Coping – Accepting Responsibility Strategi coping accepting responsibility menunjukkan bahwa subjek mengakui adanya peran diri sendiri dalam menghadapi masalah. Dalam hal ini, strategi coping accepting responsibility ditunjukkan oleh subjek pada perilaku mengonsumsi obat. Walaupun pada awalnya subjek menolak dan terbiasa dipaksa terlebih dahulu agar mau mengonsumsi obat, semakin berjalannya waktu subjek semakin mengerti kewajibannya, ibu hanya perlu memberitahukan sekali saja subjek sudah mau mengonsumsi obat. Subjek mampu mengonsumsi obat sekalipun obat tersebut pahit, dan subjek tidak menolak menjalani terapi pengobatan walaupun harus merasakan sakit misalnya saat harus disuntik. Selain itu subjek juga menunjukkan perilaku bahwa subjek harus tetap belajar membaca walaupun sedang menjalani terapi pengobatan, agar saat pulang ke kampong halaman nanti subjek tetap mampu membaca. Subjek juga menyadari kewajibannya sebagai seorang pasien LLA. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek dalam menghadapi kondisi menjalani terapi pengobatan LLA memiliki peran diri sendiri yaitu mengonsumsi obat yang sesuai dengan terapi pengobatannya. Adapun kutipan wawancara yang menunjukkan strategi coping accepting responsibility pada subjek, yaitu: “dipaksa tak gini-giniin dia kan pasrah kan mau dia telen akhirnya gitu”, (VERB-KD01/L264-265) “sekarang dia kalo udah dikasi tau ngerti”,(VERBKD02/L186) “mak obaat maa” responden berbicara dengan ibunya”, (VERB-AMB01/L362) “E2 berusaha walaupun obatnya pahit ia harus tetap meminumnya”, (FNOBSAMB04/No7) “kalau itu kan dibius waktu BMA itu kan nanti diambil sumsumnya buat diperiksaa dia ga takut ga ada ngerasa nolak begitu”, (VERB-AMB01/L459-460) “tapi ga apa yaaa E2: iyaaa (senyum) kecil sekali jarumnya ditusuk batas ini yaa”, (VERB-AMB03/L175-176) a. 253 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati “E2 terlihat semangat untuk mengambil hp yang berdering tersebut. E2 seperti mengharapkan berbicara kepada seseorang di telepun tersebut”, (FNOBS- AMB01/No10) “iya minta di gendong, minta di pijit-pijit”, (VERBAMB02/L183) “mau sembuh sendiri yaaa sama mama disini yaaa E2: iyaaa sama kawan-kawan jugaaa”, (VERB-AMB03/L202202). kesakitan, E2 hanya terlihat ingin tahu tentang darah yang keluar dari gusinya”, (FNOBS-KD02/No5) “E2 meminta bantuan ibu untuk menghidupkan tv, agar ia tidak merasa bosan”, (FNOBS-KD02/No6). “mak obaat maa” responden berbicara dengan ibunya)”, (VERB-AMB01/L362)E2 meminta sendiri karna melihat sudah waktunya minum obat”, (FNOBS-AMB01/No7) E2 inisiatif sendiri bahwa pada saat itu sudah waktunya mandi”, (FNOBS-AMB02/No6) E2: nanti kalau sampai di sumba kalau ini apa bilaang ini apa bilang nanti ga bisaa hahaha R: iyaa hehehe E2: kalau udah baca ini apa ini apaa hahaha gatau apa yang disebutinn”, (VERB-AMB03/L360-370) R: oo nanti kalau di sumba kan lanjut sekolah lagi yaa biar bisa jawab gitu yaa E2: iya!”, (VERB-AMB03/L373-374) “dia ga diam disini kalau sudah pagi itu abis mandi abis makan langsung kesana”, (VERB-AMB03/L298) E2: hmm air dulu lama dulu baru minum nanti muntah”, (VERB-AMB04/L233) “ ini makan dulu permennya R: oo abis makan obat langsung mam permen yaa E: iyaa supaya ga muntah ituu rasanya”, (VERB-AMB04/L 275-277) nama obatnya MTX IT? Obat apa itu MTX IT hahaha”, (VERB-AMB04/L352) Strategi Coping – Direct Action Strategi coping direct action menunjukkan bahwa subjek secara langsung dan aktif melakukan sesuatu untuk menghindari tekanan maupun untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini, strategi coping direct action ditunjukkan oleh subjek pada perilaku yaitu secara langsung meminta dihidupkan kipas ketika merasa kepanasan. Pada saat mengalami pendarahan gusi, subjek selalu melihat kondisi gusinya melalui cermin. Subjek secara aktif melihat apa yang terjadi pada gusinya hingga mengalami pendarahan. Selain itu, subjek secara langsung meminta untuk dihidupkan televisi agar tidak merasa bosan. Subjek pula meminta kepada ibu untuk dibelikan gadget sehingga dapat dimainkan oleh subjek selama dirawat di rumah sakit. Selain itu, perilaku meminta langsung untuk mengonsumsi obat, menghubungi ayah ketika merasa rindu, dan meminta sendiri untuk mandi ketika sudah sore juga merupakan bentuk strategi coping direct action. Subjek secara aktif belajar menulis dan membaca sesuai dengan pendidikan yang disediakan di yayasan agar saat sudah sembuh nantinya subjek tetap bisa “menjawab pertanyaan” dengan kata lain melanjutkan sekolahnya di kampung halaman. Ketika berada di rumah sakit, subjek secara aktif akan mencari teman bermain, hingga jalan-jalan keluar ruangan. Subjek juga secara aktif bertanya mengenai jadwal serta nama-nama obat yang ia konsumsi, dan secara aktif meminta meminum air terlebih dahulu sebelum mengonsumsi obat agar ia tidak muntah dan mengonsumsi permen setelahnya, agar obat yang dikonsumsi tidak terlalu terasa pahit. Subjek secara aktif menonton televisi diruangan agar tidak merasa bosan dan subjek juga berinisiatif berfoto-foto ria menggunakan gadget yang dibawa oleh peneliti. Adapun kutipan wawancara dan hasil observasi yang menunjukkan strategi coping active coping pada subjek, yaitu: “panas dah dia terus kepanasan. Kayak sekarang. Kalo ga pake kipas nangis dah diaa..panaaass gitu minta kipas..yang lain ga pernah gitu biasa-biasa ajaa jeg panas terus harus pake kipas..”, (VERB-KD01/L182-184) “Mengingat hari itu muncul gejala klinis yaitu pendarahan pada gusi, E2 terlihat kurang nyaman sehingga terus ingin melihat kondisi gusinya melalui cermin yang dipegangnya. Walaupun kurang nyaman namun ia tidak terlihat c. Strategi Coping – Emotional Approach Strategi coping emotional approach menunjukkan bahwa subjek secara aktif memproses, memikirkan dan mengekspresikan perasaannya. Dalam hal ini, strategi coping emotional approach ditunjukkan oleh subjek pada perilaku menangis dan merengek, serta merasa takut untuk melakukan terapi pengobatan. Subjek lebih sering menangis, lebih cepat marah, merasa rindu terhadap orang-orang terdekat (ayah, nenek, teman-teman), mengeluhkan sakit pada bagian tubuh tertentu, mengeluh sakit saat disuntik, mengeluhkan rasa obat yang pahit dan merasa malu karena tangannya terpasang infus. Subjek sempat kesal ketika ia tidak memiliki gadget seperti yang dimiliki oleh temannya. Subjek mengungkapkan pula kekesalan selama di rawat di rumah sakit bahwa ia tidak senang datang ke rumah sakit karena tidak ada teman bermain. Selain itu ditunjukkan ketika subjek merasa kesakitan atau tidak nyaman dengan tubuhnya, subjek akan mengatakan secara langsung apa yang dirasakannya dengan ekspresi wajah yang sedih. Adapun kutipan wawancara dan hasil observasi yang menunjukkan strategi coping emotional approach pada subjek, yaitu: “hanya terdiam dengan wajah mengerutkan dahi sehingga terlihat sedih”, (VERB-KD01/L282-283) “gamau kesini diaa..sekolah aja ah lagi sekali ajaa besoknya lagi gitu lagii..gamau dia kesini takut gituu”, (VERB-KD01/L359-360) d. 254 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN “E2 mencari bantuan ibu sehingga rasa tidak nyaman pada punggungnya dapat lebih mereda”, (FNOBS-KD01/No4) “E2 terlihat sangat tidak nyaman dengan punggungnya, terlihat lemas dan tidak bersemangat”, (FNOBSKD01/NoK1). “menangis isi marah-marah jugaa begitu sempat”, (VERBAMB01/L387) sering nangis gitu kangen sama bapanya sama neneknya begitu”, (VERB-AMB01/L393) E: itu ga ada, cuma dia gini aja marah-marah, pokoknya apa yang dia minta harus ini”, (VERB-AMB02/L114) “iya menangis”, (VERB-AMB02/L204) “iya sempat begitu, kangen sama teman-temannya”, (VERB-AMB02/L220) “ma saya kangen sama punya temen-temen di sekolah” bilang begitu hehe”, (VERB-AMB02/L224) E2: kangeen tapi ngomong-ngomong ajaa”, (VERBAMB04/L106) E2: kangeen.. (dengan nada agak meredup, sedih) ”, (VERB-AMB04/L164) E: “ee sakit” gitu, mengeluh-mengeluh kayak gitu”, (VERB-AMB02/L179) tapi suntik yang kecil itu sakitt”, (VERB-AMB03/L172) E2: disuntik-sunntik terus nii (dengan nada meyakinkan) setiap hariii disuntikk”, (VERB-AMB03/L189) E2: iyaah pasang infus juga sakittt”, (VERBAMB03/L193) E2: iyaa hadooo hadooo pahitnyaa eee”, (VERBAMB04/L278) nanti malu akuu orang liat ii ada infusnyaa”, (VERBAMB03/L238) lagi main dia itu (nunjuk ketemannya yang sedang bermain gadget) aku ga punyaa (dengan nada keras seperti kesal) ”, (VERB-AMB03/L278-279) gamau aku datang sini eem ga punya kawan main, mainnya di rumah sakit ga ada main kawannya iiiss”, (VERB-AMB03/L311-312) “makan gamau dipaksa minum gamau”, (VERBKD019/L257-258) “di sembur dikasi obat gitu ga pernah masuk obatnya”, (VERB-KD019/L261) “he ee mangkin malih masih kenten niki ampun keweh sajan”, (VERBKD019/L267) “R: susah makan susah minum nike bu nggih sama minum obat”, (VERBKD019/L310) “iyaa baru kemarinn tapi kalo masuk idos (nama obat) ini kalo rajin minum air ga gitu ee masuk obat keras itu kan harus minum air banyak ni ndak mau minum air tuu makanya berdarah gusinya kalo rajin minum air ga gitu”, (VERB-KD02/L31- 33) “kalo keras gamau makan”, (VERB-KD02/L64-65) “obatnya ini jarang-jarang kenten diminum”, (VERBKD02/L129) “tak kasi ga dah mau minum”, (VERB-KD02/L165) “obatnya ga mau diminum..dikasi obat ga mau”, (VERBKDI02/L183) Strategi coping behavioral disengagement juga dimunculkan dari perilaku yang menolak datang kerumah sakit saat jadwal terapi pengobatan. Hal tersebut bahkan menimbulkan gejala atau keluhan yang lebih banyak pada subjek. Subjek juga tidak mematuhi aturan seperti mengonsumsi makanan yang tidak boleh dikonsumsi. Adapun kutipan wawancara yang menunjukkan subjek menolak menjalani terapi pengobatan dan menolak mematuhi peraturan: “gamau kesini diaa..sekolah aja ah lagi sekali ajaa besoknya lagi gitu sekolah lagii..gamau dia kesini takut gituu”, (VERB-KD019/L359-360) “gamau dah lagii kan sakit matanya tuu harus lagi BMA gamau diaa..disuruh BMA itu pulang lagi lagi sakitt matanyaa kadang-kadang sakit dah matanya tu nyeri gitu kesakitan diaa gituu..banyak ini kendalanya..ke mataa”,(VERB-KDI019/L362-364) “makanan yang tidak boleh dimakan dimakan sama dia”, (VERB-KD02/L58-59) “ga anaknya kadang gitu dikasi makanan gamau gitu yang ndak dibolehin makan dimintak gitu”, (VERB-KD02/L63) “ini anaknya telat-telat terus soalnya “ah besok ajaa” gitu dah dia bilang ini ga mau ga berani di suntik” gitu dia bilang”, (VERB-KD02/L117-118) “iya itu dah..ee mie ga boleh gitu makan mie..pokoknya udah bagus dia udah sehat kan seneng dah, masuk biasa..itu rencana uang jajan lima ribu semuanya dibeliin itu ciki-ciki itu dah semuanya”, (VERB-KD02/L173-174). E: iyaa tidak ada semangat nafsu makan juga kurang pertama itu”, (VERB-AMB01/L385) E: iya makannya sedikit-sedikit”, (VERB-AMB02/L158) E2: ga mauuu (nada ketakutan)”, (VERB-AMB04/L227) Strategi Coping – Behavioral Disengagement Strategi coping behavioral disengagement menunjukkan bahwa subjek menurunkan suatu usaha untuk menyelesaikan masalah, dapat juga dikatakan seperti menyerah dan tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini, strategi coping behavioral disengagement ditunjukkan oleh subjek pada perilaku menolak mengonsumsi obat dan menolak atau susah makan maupun minum hingga menyebabkan munculnya efek samping obat yang dikonsumsi. Adapun kutipan wawancara yang menunjukkan subjek menolak mengonsumsi obat, makan maupun minum: “gamau makan.. gitu..”, (VERB-KD019/L117) “minum obatnya sulit”, (VERB-KD019/L255) e. 255 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati sudah ahahah (keluar air mata seperti mau muntah)”, (VERB-AMB04/L237) R: lagi satu nanti pHnya langsung naik E2: belum naikk hehe abis naik turun lagi ga pernah di delapan hehehe”, (VERB-AMB04/L305-306) engga sedih”, (VERB-AMB02/L251) Strategi Coping – Denial Strategi coping denial menunjukkan bahwa subjek menolak masalah yang ada dengan menganggap seolah-olah tidak ada masalah, mengingkari dan melupakan kejadian atau masalah yang dialami dengan cara menyangkal semua yang terjadi. Dalam hal ini, strategi coping denial ditunjukkan oleh subjek pada perilaku bermain-main dengan temannya tanpa mengenal lelah, padahal subjek dilarang untuk beraktivitas terlalu banyak yang dapat menyebabkan subjek merasa lemas dan menurunkan sistem imun. Perilaku tersebut menunjukkan seakan subjek melupakan bahwa dirinya sedang menjalani terapi pengobatan untuk penyakitnya. Adapun kutipan wawancara yang menunjukkan strategi coping denial pada subjek, yaitu: “dia sehat ini dah ga bisa dikasi tau dia main-main sama temen-temennya kan sebenernya ga boleh capek sakit gini.. biasa dia main-main sama temennya..ga boleh kan bedaa gitu sebenernya”, (VERB-KD01/L403-404). f. h. Strategi Coping – Humor Strategi coping humor menunjukkan bahwa subjek menceritakan ataupun melakukan hal-hal yang menyenangkan sehingga beban pikiran akan berkurang. Dalam hal ini, saat dilakukan pengambilan data, subejk memang cenderung senang bercanda hingga membuat orang lain dan dirinya tertawa terbahak-bahak. Subjek sering kali menunjukkan perilaku mengejek diri sendiri untuk dijadikan bahan tertawa, seperti mengatakan bahwa ia akan bau badan jika tidak mengelap badannya, menertawakan tali infus yang terpasang di tangannya, menertawai handphone milik ibunya yang tidak dapat ditekan, serta menertawai diri sendiri yang melupakan nama kepala sekolahnya. Subjek bercerita mengerjai sang dokter, apabila ia tidak ada di ruangan maka dokter akan bingung mencarinya. Subjek juga sangat aktif memainkan gadget yang dimiliki oleh peneliti, awalnya subjek ingin untuk bermain game tetapi akhirnya subjek berfoto-foto ria, menertawai hasil foto dan mengatakan bahwa fotonya enak. Subjek mengajak ibunya untuk bernyanyi bersama. Subjek mengejek pipinya yang dikatakan besar seperti rumah dan menertawai anting yang hanya satu ia gunakan sehingga dikatakan seperti laki-laki. Adapun kutipan wawancara dan hasil observasi yang menunjukkan subjek melakukan strategi coping humor pada subjek, yaitu: E2: nanti kalau ga ngelap bau lagii ehehe”, (VERBAMB03/L146) E2: biar bau dikit ajaa ehehe”, (VERB-AMB03/L150) kalau ada di hpnya nanti malu akuu orang liat ii ada infusnyaa gituuu (ssubjek IIil senyum-senyum tertawa kecil) E: ehehe ga apa sakit bilang toh R: hoo ihi iyaaa ga apaaa E2: itu kok ada talinyaa hehe di bilang nanti begituu (semua tertawa) ”, (VERB-AMB03/L238-243) E2: main apa ini (mengsubjek IIil hp ibunya) ga bisa tekan tuu hehehe”, (VERB-AMB03/L317) E2: emm kepala sekolahnya siapa eh pak gede?? Eh hahahah (tertawa malu) ”, (VERB-AMB03/L391) E2: hihi disana orangnyaa gitu hahaha R: AMB AMB dimanaa gitu yaa hahaha gitu dong bu dokternyaa E2: ga ada udah pulaangg kerumahnyaa! Gituuuu udah pulang ke yayasaan hahahaha”, (VERB-AMB03/L307-309) E2: ehehehe (terlihat malu-malu) ehehe ada mainnya aku mainnnn! Ahahaha”, (VERB-AMB03/L294) E2: oo mana wajahnyaa ini diaa hahaha”, (VERBAMB03/L447) Strategi Coping – Self Control Strategi coping self control menunjukkan bahwa subjek berusaha untuk mengatur tindakan dan perasaan diri dalam menghadapi suatu masalah. Dalam hal ini, strategi coping self control ditunjukkan oleh subjek pada perilaku tidak takut dan tidak menolak saat akan disubjek IIil tindakan medis seperti memasukkan obat dari sumsum tulang bekalang, meskipun tindakan tersebut menimbulkan rasa sakit. Subjek tidak merasa takut saat akan disuntik meskipun beberapa suntikan dirasa menyakitkan, dan subjek mampu mengontrol diri saat meminum obat yang dirasa pahit walaupun hingga keluar air mata seperti mau dimuntahkan namun subjek tetap mencoba untuk tertawa. Subjek mampu mengontrol diri disaat tidak ada perubahan kadar pH walaupun ia sudah berusaha untuk menaikkan kadar pH dalam tubuhnya. Selain itu, subjek menerima alasan sang ibu yang belum dapat membelikan gadget. Adapun kutipan wawancara dan hasil observasi yang menunjukkan strategi coping self control pada subjek, yaitu: “kalau itu kan dibius waktu BMA itu kan nanti diambil sumsumnya buat diperiksaa dia ga takut ga ada ngerasa nolak begitu”, (VERB-AMB01/L459-460) ga pernah itu yang di ini apa itu, di MTX BMA itu emang kan sukanya di suntik, dia gini “sakit ya”, iya sakit”, (VERB-AMB02/L147-148) subjek II takut ga kalo pas disuntik? E2: enggaa”, (VERBAMB03/L168-169) tapi suntik yang kecil itu sakitt R: oo gituu E: yang tes alergi itu yang sakit R: tapi ga apa yaaa E2: iyaaa (senyum) ”, (VERB-AMB03/L172-176) pasang infus sakitt E2: tapi ga nangiiis”, (VERBAMB03/L194-195) g. 256 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN E2: waah enak juga fotonyaaa”, (VERB-AMB03/L498) (interviewee 2 main hp, foto-foto, tertawa-tertawa)”, (VERB-AMB03/L562) E2: kalau ada mainannya bosan kalau ga ada mainannya bosan laah haha”, (VERB-AMB03/L598) (interviewee masih berfoto-foto sambil tertawa-tawa) ”, (VERB-AMB03/L618) E2: (merapikan rambut dengan sisir kemudian berfoto-foto lagi sambil tertawa tawa) ”, (VERB-AMB03/L649) E2: tepuk tangan duluuu wwaduh ga bisa hahaha”, (VERB-AMB03/L727) E2: ihiii coicoicoi (bersenandung) ”, (VERBAMB04/L245) E2: banyak makan sampai pipinya macam rumah ituu”, (VERB-AMB04/L334) E2: mana antingnya satu aja hahaha kayak cowok pakai anting satu”, (VERB- AMB04/L180) PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa subjek dalam menjalani terapi pengobatan, menunjukkan strategi coping. Strategi coping yang dilakukan oleh subjek adalah accepting responsibility, assistance seeking, direct action, emotional approach, behavioral disengagement, denial, self control, humor, wishful thinking dan self criticism. Kedua subjek memiliki gambaran latar belakang, situasi menjalani terapi pengobatan, respons orangtua, serta gejala klinis yang dapat mempengaruhi perilaku strategi coping pada subjek. Strategi coping yang dimunculkan oleh subjek I dan subjek II dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia anak, tingkat keparahan penyakit, dukungan sosial, serta sumber koping yang tersedia seperti sarana bermain dan lingkungan yang mendukung kelancaran proses terapi pengobatan. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), usia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi strategi coping seseorang. Dikatakan bahwa, dalam rentang usia tertentu, individu mempunyai tugas perkembangan yang berbeda, sehingga memengaruhi cara berpikir dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi disekelilingnya. Dapat dipastikan bahwa coping pada setiap individu berbeda untuk setiap tingkat usia. Berdasarkan hasil penelitian ini, usia terdiagnosa LLA pada subjek I adalah pada usia empat tahun enam bulan dan subjek II adalah pada usia delapan tahun dua bulan. Hal tersebut menunjukkan subjek berada pada masa kanak-kanak yang berbeda yaitu usia empat tahun enam bulan berada pada rentang usia masa kanak-kanak awal dan usia delapan tahun dua bulan berada pada rentang usia masa kanakkanak tengah, sehingga anak memiliki tugas perkembangan yang berbeda (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Anak yang terdiagnosa mengalami LLA pada usia kanak-kanak awal, memiliki tugas perkembangan untuk belajar mengetahui hal benar dan salah, serta masih bersifat centration yaitu memiliki kecenderungan untuk fokus terhadap satu aspek dari sebuah situasi dengan mengabaikan aspekaspek lainnya (Piaget, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Havighurst, dalam Hurlock, 1980). Anak dapat menganggap bahwa tidak mengonsumsi obat karena obat terasa pahit atau menolak melakukan terapi pengobatan karena dapat menimbulkan ketidaknyamanan adalah hal yang benar untuk dilakukan, seperti yang ditunjukkan oleh subjek I. Sedangkan, anak yang terdiagnosa mengalami LLA pada usia kanak-kanak tengah, mengalami peningkatan pemahaman secara kognitif terhadap kesehatan dan suatu penyakit yang dialaminya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Anak dapat memahami bahwa anak memiliki peran dalam menghadapi kondisinya sendiri, anak paham bahwa harus mengonsumsi obat dengan rajin dan mengikuti aturan sebagai pasien sehingga dapat sembuh dari penyakitnya, seperti yang ditunjukkan oleh subjek II dalam menjalani terapi pengobatan. i. Strategi Coping – Wishful Thinking Strategi coping wishful thinking menunjukkan bahwa subjek memiliki pengharapan atau angan-angan, terhadap suatu situasi. Dalam hal ini, strategi coping wishful thinking ditunjukkan oleh subjek pada perilaku ingin cepat sembuh dan ingin tetap melanjutkan sekolah ketika sudah sembuh nanti. Adapun kutipan wawancara dan hasil observasi yang menunjukkan subjek melakukan strategi coping wishful thinking pada subjek, yaitu: E2: tapi ga nangiiis R: tapi ga nangiiis pinter sekaliiii yang penting gimana? E2sembuh!”, (VERB-AMB03/L195-197) R: pengennya AMB biar cepet sembuh ya gak E2: iyaa! (nada semangat)”, (VERB AMB04/L167-168) E2: supaya pintar supaya cepat sembuh”, (VERBAMB03/L366) R: oo nanti kalau di sumba kan lanjut sekolah lagi yaa biar bisa jawab gitu yaa E2: iya!”, (VERB-AMB03/L373-374) j. Strategi Coping – Self Criticism Strategi coping self criticism menunjukkan bahwa subjek cenderung larut dalam permasalahan dan menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya. Dalam hal ini, Strategi coping self criticism ditunjukkan oleh subjek pada perilaku mengatakan diri “bodo” karena ia tidak berhasil menaikkan kadar pH dalam tubuhnya. Adapun kutipan wawancara yang menunjukkan subjek melakukan strategi coping self criticism: E2: ga hebat bodo AMBnya ga minum air banyaak pee apa tadi apa yang turun tadi R: pH E2: pHnya turun”, (VERB-AMB04/L326-329) 257 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati Sebagai tambahan, La Greca dan Stone (dalam Sarafino dan Smith, 2011) menyatakan bahwa ketika mengalami suatu penyakit, orang dewasa lebih memikirkan apa yang dialaminya saat itu sekaligus kondisi yang mungkin akan dialaminya pada masa yang akan datang, namun pada anak terbatasnya pemahaman yang dimiliki terhadap kondisi sakitnya, menyebabkan anak cenderung menekankan hanya pada kondisinya saat itu tanpa lebih memikirkan efek jangka panjang dari kondisi tersebut. Seperti misalnya, anak akan cenderung menekankan pada apa yang dirasakan saat itu dan bagaimana kondisi tersebut mengganggu aktivitasnya. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian pada subjek I dalam menjalani terapi pengobatan, bahwa subjek cenderung menekankan rasa takut yang dimiliki dalam menghadapi terapi pengobatan sehingga subjek menolak dan mengulur waktu terapi pengobatannya. Subjek lebih susah untuk memikirkan lebih jauh efek jangka panjang terhadap kesembuhannya apabila subjek mau memaksakan diri melakukan terapi pengobatan. Namun, terjadi perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh subjek I. Subjek mulai berani menghadapi perasaannya sendiri. Subjek tidak takut lagi menjalani terapi pengobatan walaupun harus meninggalkan aktivitasnya seperti sekolah dan bermain dengan temantemannya di rumah. Serupa dengan subjek II. Meskipun subjek sering mengundur waktu ketika akan mengonsumsi obat yang pahit, namun subjek akan tetap mengonsumsinya dengan menekankan bahwa hal tersebut akan membuatnya sembuh dari penyakit. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditekankan terjadinya perubahan pemahaman pada anak, yang menyebabkan anak mampu menekankan pada efek jangka panjang terapi pengobatan terhadap kesembuhannya, sebagaimana kecenderungan menekankan efek jangka panjang pada orang dewasa yang dinyatakan oleh La Greca dan Stone (dalam Sarafino dan Smith, 2011). Selain itu, kesehatan merupakan hal yang penting, karena dalam usaha mengatasi suatu kondisi yang menekan individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar sehingga kesehatan fisik juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi strategi coping (Lazarus dan Folkman, 1984). Meskipun subjek I dan subjek II memiliki status kesehatan fisik yang sama yaitu sama-sama menderita LLA, namun terdapat perbedaan pada tingkat keparahan penyakit. Tingkat keparahan penyakit dapat dilihat dari jumlah sel leukemia yang ada pada tubuh pasien dan dapat dilihat pula dari gejala klinis yang dialami oleh pasien (Poplac dkk, 2000). Subjek I memiliki jumlah sel leukemia sejumlah 60% sedangkan subjek II memiliki jumlah sel leukemia sejumlah 20%. Semakin tinggi jumlah sel leukemia pada tubuh anak semakin banyak pula gejala klinis yang dialami, sehingga anak lebih banyak menghadapi situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan. Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah jumlah sel leukemia pada tubuh anak semakin sedikit munculnya gejala klinis, sehingga anak lebih sedikit menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan. Hal tersebut dibuktikan pada hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa lebih banyak gejala klinis yang dialami oleh subjek I dibandingkan dengan subjek II. Subjek I selain mengalami demam, nyeri sendi dan tulang, mimisan, dan juga pendarahan pada gusi, subjek I juga mengalami pembengkakan pada limpa yang menyebabkan perutnya terus membesar. Dukungan sosial, juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi strategi coping (Lazarus dan Folkman, 1984). Subjek I maupun subjek II, lebih banyak dirawat secara langsung oleh ibu masing-masing. Ibu lebih sering menemani subjek selama menjalani terapi pengobatan baik pada saat di rumah sakit maupun di yayasan, bahkan pada subjek II hanya dirawat secara langsung oleh sang ibu dikarenakan anggota keluarga lainnya berada di kampung halaman yang jauh dari tempat subjek berobat. Namun, bukan berarti hanya ibu yang memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial masih diperoleh subjek dari anggota keluarga lainnya, dari temanteman yang mengalami hal yang sama, dari guru yang mengajar subjek di sekolah, serta dari pemerhati sosial yang seringkali membantu pemenuhan kebutuhan anak. Berdasarkan hasil penelitian ini, dukungan sosial terbesar adalah dari orangtua subjek. Sejalan dengan penelitian Putri (2015) diperoleh bahwa dukungan orangtua, baik dukungan sosial, emosional maupun dukungan material terhadap kondisi anak yang mengalami kanker berpengaruh dengan adaptasi anak terhadap penyakitnya. Dukungan yang kurang tepat dapat memberikan dampak kurang baik bagi anak. Seperti pada hasil penelitian ini, subjek I sempat mengalami keterlambatan pengobatan dikarenakan orangtua subjek belum sempat mengantar subjek ke rumah sakit. Akibatnya, subjek mengalami beberapa tambahan gejala klinis seperti lebih sering sakit kepala dan nyeri sendi. Selain itu, orangtua subjek sempat menganggap bahwa kemoterapi merupakan salah satu terapi pengobatan yang justru “mematikan” bagi subjek, sehingga orangtua cenderung tidak melanjutkan kemoterapi tersebut. Begitu pula pentingnya dukungan orangtua ketika melarang anak bermain yang berlebihan, maupun pelaksanaan program diet pada anak. Terlebih lagi, hal tersebut dikatakan penting karena, kehidupan seorang anak masih bergantung pada keluarganya baik dari fisik, psikologis dan sosial, sehingga peran orang tua sangatlah penting dalam mendukung dan mengurangi ketidaknyamanan pada anak akibat penyakit yang dialaminya (Suryati, 2010). Dalam penelitiannya, Suryati (2010) menemukan bahwa efektivitas mekanisme coping orangtua berhubungan dengan perkembangan anak dengan LLA. Apabila mekanisme coping orangtua positif, seperti menyadari bahwa anak tidak diperbolehkan beraktivitas berlebihan maka orangtua akan menerapkannya kepada anak. 258 GAMBARAN STRATEGI COPING ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN Selain itu, individu yang memiliki pengalaman menghadapi suatu masalah cenderung sudah memiliki strategi coping yang dapat dengan langsung menangani masalah yang dihadapi, dibandingkan dengan individu lain yang tidak pernah mengalami masalah serupa (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada penelitian ini, subjek I cenderung memiliki pengalaman yang lebih banyak terhadap kondisi sakit LLA dan terapi pengobatannya, karena subjek merupakan pasien kambuh yang sudah pernah menjalani tahap terapi pengobatan LLA. Terlihat bahwa adanya perubahan strategi coping yang memberikan dampak positif bagi subjek. Subjek yang dulunya sering menolak mengonsumsi obat dan menolak menjalani terapi pengobatan, lebih menunjukkan perilaku menurut dan berani menghadapi situasi dan kondisi menjalani terapi pengobatan setelah dinyatakan kambuh. Berdasarkan hasil penelitian, selama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit, subjek II menggunakan boneka dan gadget untuk bermain. Sejalan dengan pemaparan Longe (2005) yang menyebutkan bermain merupakan salah satu sumber coping bagi anak dengan LLA, yaitu barang-barang seperti papan permainan, playdoh, video game, boneka, dan mainan mobil bisa dinikmati selama terapi intravena ditempat tidur. Gariepy dan Howe (dalam Piersol, dkk. 2008) menemukan bahwa bermain pada anak dengan LLA dapat digunakan sebagai media komunikasi untuk mengekspresikan diri, mengeliminasi tekanan psikologis, serta mengatasi stres dan kecemasan. Selain itu, lingkungan yang meliputi hubungan beberapa sistem seperti orang tua dan keluarga, masyarakat, dan budaya (Bronfenbrenner dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) merupakan salah satu sumber coping yang berguna untuk anak dengan LLA. Dalam penelitian ini, lingkungan rumah sakit adalah lingkungan yang paling sering ditemui oleh subjek bahwa terdapat hubungan subjek dengan pasien lainnya, hubungan subjek dengan petugas medis sepeti dokter maupun perawat, hubungan orangtua dengan pasien lain serta hubungan orangtua dengan petugas medis. Subjek II seringkali menjalin komunikasi atau berhubungan dengan pasien lain seperti saat subjek meminjam gadget milik pasien lain, ataupun mengunjungi pasien lain untuk sekedar mengobrol. Sebagai tambahan, Sarafino dan Smith (2011) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi pemikiran maupun beliefs seseorang dalam mencari atau menggunakan layangan kesehatan. Interaksi dengan lingkungan merupakan salah satu strategi coping bagi subjek. Begitu pula orangtua dari subjek I. Orangtua seringkali memperoleh informasi yang berdampak baik untuk kondisi subjek. Orangtua mengetahui obat herbal yang dapat membantu penyembuhan subjek dari pasien lain yang menggunakan obat tersebut, sehingga orangtua ikut serta memberikan obat yang sama kepada subjek. Mengonsumsi obat yang berdampak baik bagi kondisi anak tentu merupakan salah satu strategi coping bagi anak. Ketika pengguna layanan kesehatan tidak mempercayai penyedia layanan kesehatan maka pengguna layanan kesehatan dapat menolak layanan yang dibutuhkan (Sarafino & Smith, 2011). Ketika tidak adanya hubungan yang baik pada lingkungan tersebut, akan memengaruhi perilaku orangtua dan strategi coping pada anak. Seperti pada hasil penelitian diperoleh bahwa adanya kekesalan orangtua subjek I terhadap perlakuan medis dari petugas medis. Orangtua tidak mendapat cukup informasi mengenai apa yang harus dilakukan orangtua terhadap kondisi subjek, dan orangtua merasa tidak puas dengan tindakan medis yang dianggap sangat lambat sehingga memengaruhi kondisi sakit subjek. Jika petugas medis saat itu mampu menjalin hubungan yang baik dengan pasien, dengan kata lain menjalin komunikasi yang memang dibutuhkan oleh seorang pasien maka kemungkinan besar orangtua akan lebih memahami dan mengetahui informasi yang penting terhadap perlakuan medis pada subjek tanpa meragukan petugas medis itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Basuki. (2006). Metode penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Carver, C.S., Scheier, M.F., & Weintraub, J.K. (1989). Assessing coping strategies: Theoretically based approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56(2), 267283. Doloksaribu, T.M. (2011). Respon dan koping anak penderita leukemia limfoblastik akut dalam menjalani terapi di Jakarta dan sekitarnya: studi grounded theory. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. RS Dharmais Pusat Kanker Nasional. (2009). Jakarta Barat. Diunduh dari http://www.dharmais.co.id/index.php/kemoterapi .html Faozi. (2010). Hubungan hospitalisasi berulang dengan perkembangan psikososial anak prasekolah yang menderita leukemia limfoblastik akut di Ruang Melati 2 RSUD dr Moewardi Surakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Gamayanti, I.L. (2006). Stres, koping dan adaptasi pada anak penderita LLA. Desertasi. Universitas Gajah Mada. HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta. Hurlock, E.B. (1980). Developmental psychology: a life-span approach, 5th Edition. McGraw-Hill: Inc. Hoffbrand, A.V., dan Moss, P.A.H. (2011). Kapita selekta hematologi, 6th Edition. Jakarta: EGC. 259 K. T. Damayanti & L. K. P. A. Susilawati Hockenberry, M.J., dan Wilson, D. (2009). Essential of pediatric nursing,8th Edition. Canada: Mosby Elsevier. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). (2014). Kementerian kesehatan RI. Jakarta: Badan Litbang Kemenkes RI Lazarus, S. dan Folkman, R.S. (1986). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer. Longe, J.L. (2005). The gale encyclopedia of cancer, 2rd Edition. Famington Hills: The Gale Group, Inc. MacArthur, J.D., dan MacArthur, C.T. (1999). Coping strategies. UCSF. Diunduh dari http://www.macses.ucsf.edu/Research/Psych osocial/notebook/coping.html Mia, R., Ugrasena, I.D.G., & Permono, B. (2006). Pengelolaan medik anak dengan leukemia dan kemungkinan perawatan di RS kabupaten. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/pkb/06102202252 4-03ie136.pdf Medical Stuff. (2014). Keganasan leukemia limfoblastik akut pada anak. Diunduh dari http://xianide.blogspot.co.id/search?q=leukemia Moleong, L.J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhtadi, I. (2014). Topik ke-179: Leukemia (kankerseldarahputih). Diunduhdari http://www.indramuhtadi.com/scripts2014/topik-ke-179-leukemia-kanker-sel-darahputih Murtutik, L & Wahyuni, (2013). Hubungan frekuensi hospitalisasi anak dengan kemampuan perkembangan motorik kasar pada anak preschool penderita leukemia di RSUD Dr. Moewardi. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia. Noll, R.B., Garstein, M.A., Vannatta, K., Correll, J., Bukowski, W.M., & Davies, W.H. (1999). Social, emotional, and behavioral function of children with cancer. Journal of pediatrics, 103(1), 71-78. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development, 10th Edition. Jakarta: Salemba Humanika. Pertiwi, N.M.I., Niruri, R., & Ariawati, K. (2013). Gangguan hematologi akibat kemoterapi pada anak dengan leukemia limfosistik akut di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana. Permono, B., Sutaryo., Ugrasena, I.D.G., Windiastuti, E., & Abdulsalam, M. (2010). Buku ajar hematologionkologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Permono, Bambang. (2005). Leukemia akut dalam buku ajar hematologi-onkologi anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Piersol, L.W., Johnson, A., Wetsel, A., Holtzer, K., & Walker, C. (2008). Decreasing psychological distress during the diagnosis and treatment of pediatric leukemia. Journal of Pediatric Oncolocy. Pusat Data dan Informasi. (2013). Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Badan Litbang Kemenkes RI Pusat Data dan Informasi. (2015). Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Badan Litbang Kemenkes RI Rahmawati, D.R. (2013). Gambaran penyesuaian diri anak penderita leukemia terhadap hospitalisasi. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia. Rasmun. (2004). Stress, koping dan adaptasi - teori dan pohon masalah keperawatan. Jakarta: CV Sagung Seto. Savage, E., Riordan, A.O., & Hughes, M. (2008). Quality of life in children with acute lymphoblastic leukaemia: a systematic review. European Journal of Oncology Nursing. Sarafino, E.P., & Smith, T.W. (2011). Health psychology: biopsychosocial interactions. 7th Ed. John Wiley & Sons Inc. Spencer, A.R., Jeffrey, S.N., & Greene, B. (2002). Psikologi abnormal, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga Strauss, A. dan Corbin, J. (2009). Dasar-dasar penelitian kualitatif dan R&D. Bandung: C.V. Alfabeta Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2014). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Supandiman, I. (1997). Hematologi klinik. Bandung: Alumni. Suryati, 2010. Hubungan koping orang tua dan karakteristik anak dengan pertumbuhan dan perkembangan anak usia batita dan prasekolah penderita leukemia limfoblastik akut di RSAB Harapan Kita Jakarta. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Program Pascasarjana Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Anak, Universitas Indonesia. Sutaryo, Sumadiono, Suhadi. (1999) The pilot protocol of Wijaya Kusuma acute lymphoblastic leukemia of childhood. Yogyakarta: Indonesian Multicentre Study, Gadjah Mada University Press. Willig, C. (2008). Introducing qualitative research in psychology. New York: Open University Press. Wong, D.L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik, Edisi 6. Jakarta: EGC. lting Psychology Press. 260