Jurnal Psikologi Udayana 2017, Vol.4, No.2, 413-425 Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana ISSN: 2354 5607 MEMAAFKAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN OLEH ORANGTUA PADA MASA ANAK-ANAK Yemima Yoela, David Hizkia Tobing Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana yemimayoela@gmail.com Abstrak Berbagai kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi, berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Keluarga Berencana (KB) dan Perlindungan Perempuan (PP) Kota Denpasar, terdapat 148 kasus kekerasan pada tahun 2013, 143 kasus pada tahun 2014 dan 116 kasus di tahun 2015 (sampai bulan Oktober 2015). Sebanyak 80 persen kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga, termasuk orangtua. Kekerasan yang dialami akan menimbulkan berbagai macam dampak yang terbawa hingga anak tersebut dewasa, seperti harga diri rendah, mengalami depresi pada masa dewasa, masalah dalam membina hubungan dengan orang lain, agresivitas, dan lain-lain. Kekerasan yang terjadi juga dapat merusak hubungan antara orangtua dengan anak. Salah satu cara agar individu dapat mengalami pemulihan dari dampak-dampak tersebut dan mengembalikan hubungan dengan pelaku adalah dengan memaafkan, yaitu kesediaan individu untuk melepaskan haknya untuk membalas, memberikan penilaian negatif dan menunjukkan perilaku yang berbeda terhadap pihak yang melakukan kesalahan, merespons dengan belas kasihan, kemurahan hati serta kasih terhadap orang tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana proses memaafkan perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan oleh orangtua pada masa anak-anak. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang perempuan dewasa muda yang sudah memaafkan orangtuanya, beserta satu significant others dari masing-masing responden. Hasil penemuan dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori, yaitu Kategori I: Kekerasan yang Dialami (bentuk kekerasan: emosional/psikis, penelantaran dan fisik, dan dampak kekerasan: diri sendiri, keluarga dan lingkungan sosial) dan Kategori II: Proses Memaafkan (fase menyadari kemarahan, fase memutuskan untuk memaafkan, fase berusaha untuk memaafkan dan fase mendalami). Kekerasan yang dialami ketiga responden, yaitu psikis, penelantaran dan fisik menyebabkan berbagai macam dampak dalam kehidupan masing-masing responden, kemudian ketiganya memutuskan untuk memaafkan orangtua yang melakukan kekerasan setelah menyadari bahwa Tuhan sudah mengampuni dan menginginkan ketiga responden untuk memaafkan. Proses memaafkan tersebut juga dibantu oleh komunitas yang mendorong ketiga responden untuk memaafkan. Kata Kunci: memaafkan, kekerasan pada anak, perempuan dewasa muda. Abstract Child-abuse cases keeps on happening these days, based on the data of Badan Keluarga Berencana (KB) and Perlindungan Perempuan (PP) Denpasar, in 2013 there are 148 total cases of child-abuse, 143 cases in 2014, and 116 cases in 2015 (until October 2015). As many as 80 percent of the abuse were done by the family, including parents. The experience of being abused will have several consequences that will be brought up until the child reaches adulthood, such as low self-esteem, depression, problems in relationships, aggression, etc. The abuse also risks the parent-children relationship. Forgiveness is the way where the individual may experience self-healing from the consequences of the abuse and to restored parent-children relationship. Forgiveness is a willingness to abandon one’s right to resentment, negative judgement, and indifferent behavior toward one who unjustly injured the person, while fostering the undeserved qualities of compassion, generosity, and even love toward one who unjustly injured the person. Based on this, the researcher wanted to know about how is the process of forgiveness in young adult women who experienced childabuse by parents. This research uses qualitative method with phenomenological approach. There are three participants and one significant others for each participant. There are two categories as the result of this research, the first category is the Experience of Abuse (form of abuse: emotional/psychological, neglect, and physical and the effects of being abused: oneself, family and social environment) and the second is the Forgiveness Process (uncovering the anger phase, deciding to forgive phase, working on forgiveness phase and deepening phase). The abuse that happened to the respondents caused several effects, and the respondents decided to forgive after realizing that God has forgiven respondents and wanted respondents to forgive. Respondents’ community also helped respondents’ process of forgiveness. Keywords: forgiveness, child-abuse, young adult women. 413 Y. YOELA DAN D. H. TOBING orang tidak dikenal (Solihin, 2004). Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di sembilan provinsi menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6% di lingkungan sekolah dan 17,9% di lingkungan masyarakat (Setyawan, 2015). Menurut data Survei Sensus Nasional tahun 2006 (Lestari, 2013) sebanyak 61,4% kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orangtua kandungnya. Banyak fenomena kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anaknya dengan alasan memberikan hukuman kepada anak karena telah melakukan kesalahan atau berperilaku buruk (Rahmawati, 2009). Alasan lain orangtua melakukan kekerasan adalah orangtua mungkin memiliki ekspektasi atau harapan yang tidak realistis terhadap kemampuan anak, stres dan merasa tidak berdaya memiliki peran yang signifikan dalam terjadinya kekerasan pada anak seperti masalah ekonomi, masih muda dan tidak berpengalamandalam pernikahan serta membesarkan anak, perselisihan dalam perkawinan dan perceraian keluarga yang tertutup, serta terlalu menuntut atau sebaliknya karena anak yang sulit diatur (Lamanna & Riedmann, 2006). Data lain menunjukkan, orangtua yang melakukan kekerasan atau mengabaikan anak dibesarkan ditengah keluarga dengan perlakuan serupa (Newberger, 1982) sehingga orangtua memiliki pandangan bahwa anak membutuhkan hukuman dan memercayai hukuman fisik adalah cara yang tepat untuk mendidik anak (Lamanna & Riedman, 2006). Pengalaman kekerasan pada masa anak-anak juga membuat kebutuhan orangtua tidak terpenuhi sehingga merasa tidak berharga, tidak adekuat, disertai dengan kemarahan (Newberger, 1982) oleh karena itu orangtua cenderungmelampiaskannya kepada anak. Pandangan bahwa dirinya rendah dan perasaan tidak berharga membuat orangtua melakukan kekerasan karena rasa marah dan frustrasinya (Rice& Dolgin, 2002). Masa anak-anak dianggap penting sebagai dasar seluruh kehidupan individu (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Pengalaman sepanjang waktu bersama orangtua, serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai dipahami merupakan hal-hal pokok yang memengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian sosial individu (Lestari, 2013). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008) pola kepribadian dasar individu terbentuk pada tahun-tahun pertama kehidupan, orangtua berperan dalam pembentukan karakter anak (Fataruba, Purwatiningsih & Wardani, 2009). Sikap orangtua juga berpengaruh kuat terhadap sikap dan perilaku anak (Hurlock, 1978). Menurut Solihin (2004) masa depan individu, baik kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi oleh peranan orangtua di masa anak-anak individu tersebut. Seorang anak membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari ibu dan rasa terlindung yang diperoleh dari ayah. Rasa LATAR BELAKANG Undang-undang Republik Indonesia mengenai perlindungan anak sudah ada sejak tahun 2002, namun beragam kasus kekerasan terhadap anak masih terjadi (Mutiah, 2015). Menurut data hasil pemantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terjadi peningkatan kasus kekerasan dari tahun 2011 sampai tahun 2014. Pada tahun 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, tahun 2012 terdapat 3.512 kasus, pada tahun 2013 ada 4.311 kasus, sedangkan 5.066 kasus kekerasan terjadi pada tahun 2014 (Setyawan, 2015). Kasus kekerasan pada anak yang terungkap seperti fenomena gunung es (Hidayat, 2016), karena diperkirakan angka kekerasan pada anak di Indonesia yang sebenarnya masih jauh lebih tinggi (Armenia, 2016). Berdasarkan preliminary study yang dilakukan, diperoleh data dari Badan Keluarga Berencana (KB) dan Pemberdayaan Perempuan (PP) Pemerintah Kota Denpasar mengenai kekerasan yang terjadi pada anak usia 0 – 17 tahun (data sampai dengan bulan Oktober 2015) yaitu pada tahun 2013 terjadi 148 kasus, 143 kasus pada tahun 2014 dan 116 kasus pada tahun 2015 (Yoela, 2016). Data lain diperoleh dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), hingga 22 Maret 2016 kasus kekerasan pada anak yang diadukan adalah sebagai berikut: kekerasan fisik sebanyak tiga kasus pada tahun 2013, empat kasus pada tahun 2014, lima kasus pada 2015 dan dua kasus di tahun 2016; kekerasan psikis sebanyak delapan kasus pada 2013, enam kasus pada 2014, 14 kasus pada tahun 2015 dan empat kasus pada tahun 2016; satu kasus pelecehan seksual pada tahun 2013, delapan kasus di tahun 2015 dan dua kasus pada tahun 2016; satu kasus pemerkosaan pada tahun 2013; dua kasus penelantaran di tahun 2013, tiga kasus terjadi pada tahun 2015 dan satu kasus pada tahun 2016 (Yoela, 2016). Total kekerasan yang diadukan di Bali pada tahun 2013 adalah sebanyak 15 kasus, 10 diantaranya terjadi pada anak perempuan dan sisanya terjadi anak laki-laki. Tahun 2014 terjadi tujuh kasus kekerasan pada anak perempuan dan tujuh pada anak laki-laki atau total 14 kasus. Pada tahun 2015 total kekerasan yang terjadi adalah 43 kasus, dengan korban 23 anak perempuan dan anak laki-laki sebanyak 21 orang anak. Tahun 2016 terdapat enam kasus kekerasan yang terjadi pada anak laki-laki dan empat kasus pada anak perempuan. Jika ditotal dari tahun 2013 – 2016, lebih banyak anak perempuan yang mengalami kekerasan yaitu sebanyak 43 kasus, sedangkan pada anak laki-laki terdapat 39 kasus yang terjadi (Yoela, 2016). Sebagian besar pelaku kekerasan merupakan orangorang dekat anak tersebut (Mutiah, 2015). Sebanyak 80% kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga, 10% terjadi dilingkungan pendidikan, dan 10% dilakukan oleh 414 MEMAAFKAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN aman dalam keluarga merupakan salah satu syarat bagi kelancaran proses perkembangan anak. Keluarga dengan ikatan yang abadi merupakan suatu tempat yang memberi rasa aman-terlindungi bagi anak. Kekhawatiran dan kecemasan yang terlihat pada orang dewasa bila ditelusuri merupakan akibat dari peristiwa yang berkaitan dengan hilangnya rasa aman pada usia muda, peristiwa tersebut mungkin sudah tidak diingatnya, akan tetapi akibatnya masih dirasakan. Suasana keluarga berpengaruh terhadap perkembangan emosi serta respons afektif anak (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Penolakan yang sering terjadi dari pihak orangtua akan mengakibatkan penolakan terhadap dirinya sendiri. Bila hal itu terjadi berulang kali, maka akan menyebabkan individu merasa kurang berharga (Bock, 2011). Kekerasan membuat individu secara perlahan kehilangan rasa percaya dirinya, sedangkan rasa percaya diri yang dimiliki dapat membantu inividu untuk mengenal dirinya sendiri. Jika rasa percaya dirinya rendahmaka akan sulit mengembangkan kepercayaan pada orang lain, merasa tidak aman, dan juga akan menilai dirinya tidak berguna. Jika kepercayaan diri anak tinggi, anak akanlebih mudah bergaul dengan orang lain, dapat mengembangkan kepercayaan pada orang laindan merasa dibutuhkan dan berguna baik pada diri sendiri maupun orang lain (Fatimah, 2012). Menurut Venny (2003) dampak lain yang mungkin dialami adalah kesulitan untuk bertahan dan menemukan identitasnya, sebab tidak adanya kedekatan emosional dengan orangtua. Beberapa studi menemukan bahwa salah satu prediktor perempuan melakukan atau mengalami kekerasan pada masa dewasanya adalah pengalaman kekerasan pada masa anakanaknya (Burge, 2011), sedangkan menurut Reid, Cooper dan Banks (2008) anak perempuan diharapkan bertumbuh menjadi individu yang lemah lembut, penurut, perhatian serta mengasuh. Harapan tersebut didasari oleh pentingnya hubungan dan keterkaitan dengan orang lain dalam kehidupan perempuan. Pengalaman kekerasan akan menimbulkan luka dalam hati individu, dan luka batin yang tidak terselesaikan akan terbawa sampai masa dewasa (Bock, 2011). Kehidupan psikososial dewasa muda makin kompleks dibandingkan dengan masa remaja karena selain bekerja, individu akan memasuki kehidupan pernikahan, membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan tetap harus memperhatikan orangtua. Individu harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina anak-anak dalam keluarga dan tetap menjalin hubungan baik dengan kedua orangtua ataupun saudara-saudara (Dariyo, 2004), sehingga untuk dapat melalui tahap perkembangan ini dengan baik tanpa terpengaruh luka batin masa lampau adalah dengan memaafkan orangtua yang menyebabkan luka tersebut (Siregar, 2012). Memaafkan akan membuat individu mengalami pemulihan psikologis (McGary dalam Enright & North, 1998) dan agar tidak timbul kepahitan dan menjauh dari orangtua (McCullough, Sandage & Worthington, 1997). Memaafkan adalah kesediaan individu melepaskan haknya untuk membalas, memberikan penilaian negatif dan menunjukkan perilaku yang berbeda atau acuh terhadap pihak yang melakukan kesalahan, tetapi merespons dengan belas kasihan, kemurahan hati serta kasih terhadap orang tersebut. Memaafkan merupakan kehendak individu untuk merespon, sehingga individu mungkin memaafkan tanpa syarat meskipun pihak lain masih melakukan tindakan yang menyakitkan (Enright & North, 1998). Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui proses memaafkan perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan oleh orangtua pada masa anakanaknya. Rumusan pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana proses memaafkan perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya pada masa anak-anak? METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Creswell (dalam Sugiyono, 2014) menyatakan bahwa penelitian kualitatif berarti menyelidiki dan memahami bagaimana individu memaknai masalah sosial atau kemanusiaan. Penelitian kualitatif difokuskan pada penggalian makna dan nilai dari pengalaman subjek penelitian (Herdiansyah, 2015). Pendekatan fenomenologi berfokus pada pengalaman yang dialami oleh individu, bagaimana individu memaknai pengalamannya tersebut berkaitan dengan fenomena tertentu yang sangat berpengaruh dan sangat berarti bagi individu yang bersangkutan (Herdiansyah, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalamanpengalaman subjektif dari responden, mengungkapkan, mempelajari dan memahami memaafkan perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan oleh orangtua pada masa anak-anaknya berdasarkan sudut pandang, paradigma dan keyakinan dari individu yang bersangkutan. Karakteristik Subjek Terdapat tiga responden dalam penelitian ini, beserta masing-masing satu orang significant othersnya. Adapun karakteristik responden yang akan menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan data adalah sebagai berikut: 1. Perempuan, karena berdasarkan data yang diperoleh dari preliminary study lebih banyak anak perempuan yang mengalami kekerasan dan perempuan yang akan berperan sebagai ibu dalam rumah tangga. 2. Rentang usia 20 – 35 tahun, karena pada usia ini individu mulai meninggalkan rumah dan jika tidak menyelesaikan konflik dengan orangtua dapat 415 Y. YOELA DAN D. H. TOBING memungkinkan individu menampilkan konflik tersebut pada relasi dengan orang lain di masa yang akan datang dan pada usia ini, individu akan menghadapi tugas membangun hubungan intim dengan orang lain. 3. Pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orangtua (termasuk menyaksikan kekerasan antara orangtua) pada usia 0 – 18 tahun, mengacu pada Gilham dkk (dalam Lamanna & Riedmann, 2006). 4. Dalam proses atau sudah memaafkan orangtuanya. others VN berjemaat serta tempat ibadah significant others CH, dan wawancara dengan responden VN juga dilakukan di rumah interviewer. Baik indekos, gereja, maupun rumah interviewer terletak di Denpasar. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data dengan Wawancara Menurut Sugiyono (2014), wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur, teknik ini memberikan kesempatan yang luas bagi peneliti untuk memahami dan mendengarkan segala hal yang dikatakan subjek penelitian dari pengalaman hidupnya, murni berdasarkan sudut pandang subjek. Peneliti berfungsi sebagai pengendali wawancara untuk mendapatkan data yang akan menjawab pertanyaan penelitian (Herdiansyah, 2015). Guideline digunakan sebagai pengontrol jalannya wawancara, namun pertanyaan yang diajukan tidak kaku melainkan mengikuti jawaban dari responden, sehingga memperoleh informasi yang mendalam. Pada wawancara awal, diberikan informed consent kepada setiap responden dan meminta izin untuk merekam jalannya wawancara dari awal sampai selesai. Perekam yang digunakan adalah iPod dan handphone yang menghasilkan rekaman suara dengan format mp4. b. Pengumpulan Data dengan Observasi Menurut Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) observasi adalah suatu proses penggalian data yang dilakukan langsung oleh peneliti sendiri dengan cara melakukan pengamatan mendetail terhadap manusia sebagai objek observasi dan lingkungannya. Observasi dilakukan pada saat saat wawancara dan disajikan dalam verbatim wawancara, hal-hal yang diobservasi adalah gesture responden serta emosi yang muncul. Tidak dilakukan observasi terhadap interaksi antara responden dengan orangtua dikarenakan ketiga responden tidak tinggal bersama dengan orangtua atau merantau. Responden-responden tersebut tidak ditentukan sebelumnya, awalnya sempat mengalami kesulitan untuk mendapatkan responden. Peneliti menyebarkan pesan pada media sosial dan bertanya kepada beberapa orang, setelah beberapa waktu ada empat orang yang merespons pesan tersebut dengan menghubungi peneliti dan mengatakan dirinya bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Kemudian diputuskan untuk mewawancarai hanya tiga dari keempat orang yang menyatakan bersedia untuk menjadi responden. Ketiganya berasal dari komunitas-komunitas Kristen. Pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini selain responden adalah significant others dari masing-masing responden. Analisis Data Pada saat proses pengorganisasian data selesai dilakukan, peneliti melanjutkan dengan menganalisa seluruh data yang telah diperoleh. Pertama, dilakukan open coding pada seluruh hasil verbatim wawancara. Open coding merupakan proses pemberian kode atau label pada respon jawaban yang diberikan oleh responden maupun significant others, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan fokus penelitian. Tahap selanjutnya merupakan axial coding, pada tahap ini peneliti hanya mengambil informasi yang dibutuhkan dan berhubungan dengan penelitian, coding yang telah terbentuk sebelumnya dikelompokkan dalam bentuk kategori yang lebih besar. Berikutnya dilakukan selective coding, yaitu mengaitkan kategori dalam axial coding dan mengelompokkannya sesuai dengan teori yang Lokasi Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar, Bali. Pengambilan data dilakukan dibeberapa tempat berbeda sesuai dengan permintaan dari ketiga responden dan significant others dari setiap responden. Wawancara dilakukan di tempat indekos responden, gereja tempat responden dan significant 416 MEMAAFKAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN digunakan dalam penelitian ini. Proses coding dilanjutkan dengan menarasikan perkataan responden yang sesuai dengan fokus penelitian. Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian Uji kredibilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan referensi dan triangulasi sumber dan waktu. Teknik pertama, yaitu bahan referensi adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini, wawancara akan direkam untuk dijadikan bukti bahwa verbatim yang dibuat diperoleh dari wawancara dengan responden. Teknik yang berikutnya, adalah triangulasi sumber, yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, dan triangulasi waktu dilakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda (Wiersma dalam Sugiyono, 2014). Temuan terkait kekerasan yang dialami oleh ketiga repsonden dalam penelitian ini akan dijelaskan dalam dua bagian, yaitu bentuk kekerasan dan dampak kekerasan. Berikut pemaparan hasil terkait kekerasan yang dialami: Isu Etika Penelitian Etika merupakan salah satu aturan yang harus disepakati dan dipahami dengan sebenar-benarnya oleh peneliti agar apa yang dilakukan dalam riset, tetap menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Herdiansyah, 2015). Sebelum penelitian dimulai, setiap responden dijelaskan mengenai penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami, serta dijelaskan mengenai asas kesediaan sebagai partisipan penelitian yang menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat (HIMPSI, 2010). Dalam penelitian ini, hak partisipan untuk tetap menjaga privasinya juga dihormati dan menjunjung tinggi keinginan partisipan untuk tidak menceritakannya kepada peneliti (Herdiansyah, 2015). 1. Emosional atau Psikis a. Mengalami secara Langsung Ketiga responden mengalami kekerasan emosional atau psikis yang dilakukan oleh orangtua pada masa anak-anaknya, dua responden mengalami kekerasan seperti dimaki atau dibodoh-bodohi, dihina atau disebut dengan kata yang kasar yaitu pelacur, dibandingkan dengan saudara atau orang lain, dianggap tidak mampu, tidak didengarkan, orangtua menggunakan nada suara yang tinggi ketika berbicara, selain itu juga mendapatkan ancaman tidak akan dibiayai serta adanya kecenderungan pilih kasih. b. Menyaksikan Kekerasan Diantara ketiga responden hanya AT yang tidak mengalami kekerasan secara langsung, yaitu AT menyaksikan kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan Ayah terhadap Ibunya. Kedua responden, VN dan AT juga mengetahui perselingkuhan Ayahnya masing-masing dengan perempuan lain. VN juga sering menyaksikan kekerasan fisik yang dilakukan Ayah terhadap saudara laki-lakinya dan sering menyaksikan pertengkaran diantara kedua orangtuanya. HASIL PENELITIAN Terkait dengan desain penelitian yang digunakan, yaitu pendekatan fenomonelogi, maka hasil penelitian akan dipaparkan secara keseluruhan dari hasil yang diperoleh. Setiap kalimat yang dipaparkan pada bagian hasil penelitian ini merupakan fakta yang terbentuk dari rangkaian kode-kode hasil pengumpulan data yang telah melalui tahap analisis data. Hasil penelitian akan dijelaskan dalam dua kategori, yaitu kategori kekerasan yang dialami dan kategori proses memaafkan. 2. Penelantaran Responden juga mengalami penelantaran namun dalam bentuk yang berbeda. Dua responden mengalami penelantaran fisik yang dilakukan oleh Ayah dari masing-masing responden. Penelantaran yang dialami pada AT hanya terjadi sementara yaitu pada saat AT, Ibu dan Adiknya diusir dari rumah Ayah. Ketiganya tidak dibiayai oleh Ayah selama kurang lebih tiga bulan. VN mengalami penelantaran yang cukup lama, Ayah VN cenderung tidak peduli terhadap kebutuhan sehari-harinya. Selama masa sekolah sampai kuliah, kebutuhan VN lebih banyak dipenuhi oleh Mama yang 417 Y. YOELA DAN D. H. TOBING pada dasarnya juga tidak bekerja, atau VN mendapatkan dana dari pihak lain. CH mengalami penelantaran, namun secara emosional. Ibu CH tidak terlalu sadar akan kebutuhan emosionalnya, sewaktu kecil CH lebih banyak diasuh oleh asisten rumah tangga karena kesibukan orangtuanya. Orangtua CH sempat pergi ke Jepang selama 6 – 12 bulan untuk studi. Berdasarkan cerita CH kepada SOCH, ada kesan bahwa Ibu CH bukan seorang yang lembut. 2. Keluarga Kekerasan yang terjadi memberikan dampak bagi hubungan responden dengan orangtua, selain semakin menjauh karena tidak banyak hal yang dibicarakan, kekerasan juga membuat responden kehilangan kepercayaannya terhadap orangtua tersebut, mencoba untuk diakui di depan orangtua, tidak berani mengambil keputusan dan berpendapat di tengah keluarga, menjadi cuek terhadap keluarga, dan berpikiran sangat negatif terhadap orangtua yang melakukan kekerasan. Responden juga merasa tidak dikasihi oleh karena kekerasan yang dialaminya, sebab responden berpendapat apabila orangtua mengasihinya maka orangtua seharusnya tidak melakukan kekerasan. Dari antara ketiga responden, AT yang menyaksikan kekerasan yang terjadi diantara orangtuanya merasa sulit untuk kembali menerima Ayah sebagai suami dari Ibunya. AT lebih mudah untuk kembali menerima sebagai ayahnya. 3. Fisik Dari ketiga responden hanya satu responden yang mengalami kekerasan fisik yaitu CH. Pada waktu CH berusia lima tahun CH pernah dimasukkan ke dalam kamar mandi dan disiram air berkali-kali, selain itu CH juga sering dilempar barang oleh Ibunya. Barang-barang yang pernah dilempar Ibu CH antara lain kotak tissue, benda yang terbuat dari rotan, handphone, dan pulpen. Peran Ibu dalam rumah tangga juga cenderung dominan, Ibu mengambil peran sebagai kepala keluarga serta mengatur segala sesuatu sehingga peran Ayahmenjadi cenderung pasif. Termasuk dengan membiarkan Ibu menggunakan kekerasan dalam mendidik anak-anak. 3. Lingkungan Sosial Kekerasan juga berdampak terhadap responden di tengah lingkungan sosialnya, seperti responden merasa tidak diterima oleh lingkungannya, merasa sendiri dan tidak memiliki teman yang sangat dekat meskipun memiliki banyak teman di sekelilingnya. Responden sempat merasa aneh saat orang lain menunjukkan kasih dan kepedulian karena tidak mendapatkan hal tersebut dari keluarga. Ketiga responden mengalami masalah dalam membangun hubungan dengan orang lain dan kesulitan untuk percaya terhadap orang lain membuat responden membutuhkan waktu untuk percaya pada orang lain, tidak menceritakan pengalaman kekerasan yang dialami, responden merasa tidak perlu menceritakan masalahnya kepada orang lain. Responden juga menjadi mudah memberikan penilaian yang negatif terhadap orang lain. 1. Diri Sendiri Emosi tidak stabil dan menjadi lebih mudah marah jika terpicu sebuah kejadian tidak menyenangkan, merasa tidak bahagia dan melihat hidup tidak adil. Responden membandingkan keadaannya dengan orang lain yang tidak mengalami kekerasan, kemudian timbul rasa iri terhadap orang lain atau keluarga yang tidak mengalami keadaan serupa. Dampak lain yang timbul adalah keinginan untuk merantau atau tidak tinggal di rumah, dan ada saat-saat responden ingin kabur dari rumah. Responden juga mengalami dampak penelantaran finansial yang dialami responden adalah menunggak uang sekolah karena penghasilan Ibu yang tidak cukup untuk memenuhinya, kebutuhan dicukupkan oleh pihak-pihak lain. Dari ketiga responden, hanya CH yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh Ibu. Hal tersebut menimbulkan dampak lain bagi CH, yaitu tidak ingin menjadi seorang ibu. CH takut jika menjadi seorang ibu, CH akan menjadi seperti Ibunya yang menggunakan kekerasan untuk mendidik anak. CH tidak ingin anaknya menjadi korban dari hal tersebut. Kekerasan juga membuat CH merasa depresi. Depresi yang dirasakan CH membuatnya menyilet tangannya. 418 MEMAAFKAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN 1. Motivasi Memaafkan Awalnya responden merasa terpaksa untuk memaafkan karena didesak oleh orang lain. Perlahan-lahan, setelah merenungkan kembali responden mulai menyadari bahwa Tuhan ingin responden memaafkan orangtuanya meskipun orangtua tersebut telah melakukan kekerasan, karena responden juga sudah menerima pengampunan dari Tuhan. Responden menemukan bahwa memaafkan penting bagi responden, baik secara rohani maupun jasmani. Responden merasa lelah jika terus menerus menyimpan emosi negatif yang membuatnya menghindari dan memiliki hubungan yang renggang dengan orangtua yang melakukan kekerasan. Diantara ketiga responden, VN juga menjadikan Ibu sebagai motivasinya untuk memaafkan. Ibu selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun perlakuan Ayah tetap merupakan Ayah VN, dan Ibu juga memberikan contoh dengan memaafkan Ayah terlebih dahulu. 1. Emosi Negatif yang Timbul a. Marah Kekerasan mengakibatkan responden merasakan beberapa emosi negatif, seperti merasa kesal, benci, kecewa dan marah terhadap orangtua yang melakukan kekerasan, responden juga merasa terganggu dengan keberadaannya. Perasaan tersebut membuat responden sampai menangis ketika menceritakan tentang orangtua yang melakukan kekerasan tersebut. b. Sedih Emosi negatif lain yang timbul ketika mengalami kekerasan adalah kesedihan, termasuk depresi. Salah satu alasan responden AT merasa sedih adalah perjuangan orangtua yang mengalami kekerasan untuk tetap bertahan. 2. Tujuan Memaafkan Peristiwa kekerasan yang terjadi membuat hubungan antara responden dengan orangtua menjadi renggang, karena responden yang menghindari orangtua. Ketiganya memutuskan untuk memaafkan dengan harapan akan memiliki komunikasi serta hubungan yang lebih baik dengan orangtua yang melakukan kekerasan, meskipun tidak berharap banyak untuk memiliki hubungan yang sangat dekat atau menceritakan segala hal kepada orangtua yang melakukan kekerasan. c. Takut Kekerasan juga menimbulkan ketakutan dalam diri responden, seperti takut kekerasan terulang kembali, takut untuk mengajak teman-teman datang ke rumah karena takut orangtua merespons tidak enak, serta takut dalam memilih pasangan. 2. Respons terhadap Kekerasan Ketiga responden merespons kekerasan dengan menghindari orangtua yang melakukan kekerasan. Responden menghindari orangtua dengan menjaga jarak dan menjauh, tidak menegur, tidak mau atau membatasi komunikasi dengan orangtua yang melakukan kekerasan. Kekerasan yang dialami juga membuat responden tidak ingin mengingat dan semakin tidak peduli terhadap orangtua yang melakukan kekerasan. Responden yang menyaksikan kekerasan antara pelaku dengan anggota keluarga lain cenderung diam dan tidak menolong atau melerai, karena takut orangtua yang melakukan kekerasan akan semakin marah. 2. Komponen Kognitif Pada awalnya, responden mengalami kesulitan untuk memaafkan karena belum adanya perubahan dari orangtua yang melakukan kekerasan. Hal tersebut memicu responden untuk kembali tidak memaafkan, namun kemudian responden menyadari bahwa tidak bisa setengah-setengah dalam memaafkan orangtua yang melakukan kekerasan karena responden juga sudah menerima mengampunan dari Tuhan 419 Y. YOELA DAN D. H. TOBING dan Tuhan sudah sangat mengasihi repsonden. Kesadaran akan hal tersebut membuat responden berpikir bahwa orangtuanya layak untuk dikasihi dan dimaafkan, kemudian responden berkomitmen pada dirinya sendiri untuk sungguhsungguh memaafkan, meskipun terkadang kesal namun responden berusaha untuk tetap berpikir positif terhadap orangtuanya. 3. Komponen Afektif dan Tindakan Responden memutuskan untuk menggantikan emosi negatif dengan mengasihi orangtua yang melakukan kekerasan. Keputusan tersebut membuat responden berusaha untuk lebih peduli dengan lebih banyak bertanya, mempedulikan pekerjaan orangtua, merasa sedih dan kasihan ketika orangtua sakit sehingga memberikan perhatian serta mendorong saudara-saudara lain untuk memeriksakan, menerima cara pemikiran orangtua dan tidak menganggapnya sebagai pengganggu. Memaafkan membuat responden menjadi lebih terbuka terhadap orangtua yang melakukan kekerasan, menceritakan mengenai kehidupan pribadinya seperti relasi dengan lawan jenis dan perkuliahan, mendiskusikan banyak hal dan mengutarakan pendapatnya di depan orangtua tersebut, dan lebih banyak mengajak orangtua tersebut untuk berdoa. Responden juga memberikan kesempatan pada orangtua untuk menebus kesalahannya di masa lalu. 4. Aspek yang Berperan dalam Proses Memaafkan Proses memaafkan ketiga responden sangat dipengaruhi oleh kedekatan masing-masing responden dengan Tuhan, karena adanya dorongan untuk melakukan kehendak Tuhan meskipun sebenarnya merasa sulit untuk memaafkan. Proses memaafkan juga didukung oleh pembimbing rohani dan teman-teman dalam komunitas Kristen yang mengingatkan responden akan kasih dan pengampunan Tuhan. Responden belajar untuk terbuka masalah keluarga, karena menyadari bahwa responden membutuhkan pertolongan, tempat untuk bercerita dan berbagi, membutuhkan orang lain untuk mengingatkan perihal memaafkan dan memberikan pandangan lain tentang keluarga, serta di follow up oleh pembimbing rohani dari komunitas Kristen yang diikuti. Responden juga merasa tinggal jauh dari orangtua juga membantu proses memaafkan, karena ketika kembali ke rumah responden tidak ingin menghabiskan waktu bertemu hanya untuk berkelahi melainkan ingin menghabiskan waktu dengan baik, selain itu juga ketika terjadi perkelahian ada masa tenang yaitu keduanya tidak saling bertemu dan berinteraksi. 1. Menemukan Makna dari Kekerasan yang Dialami Kekerasan yang dialami membuat responden belajar beberapa hal, seperti setiap orang memiliki cara mengasihi yang berbeda sehingga saat orangtua melakukan kekerasan pada dasarnya hanya ingin responden untuk belajar agar menjadi lebih baik dan kekerasan juga berperan dalam membentuk pribadi responden saat ini namun responden juga menyadari bahwa kekerasan bukan cara yang tepat. Responden mensyukuri kekerasan yang pernah dialaminya, karena melalui pengalaman tersebut responden menjadi kuat dan tangguh. Kekerasan yang dialami membuat responden lebih mawas diri, belajar untuk menghindari contoh yang buruk dan tidak mengulangi kekerasan yang dilakukan oleh orangtua, namun juga mengambil hal baik yang dipelajari dari didikan keluarga serta dari keluarga harmonis lain. Responden belajar mengerti posisi orang lain, tidak langsung menyalahkan dan menilai negatif orang lain namun melihat setiap orang memiliki alasan dari apa yang dilakukannya. 2. Perubahan setelah Memaafkan Memaafkan membuat responden menjadi lebih dekat dengan orangtua yang melakukan kekerasan, komunikasi diantara kedua pihak terjalin dengan baik. Responden memang tidak berkomunikasi setiap hari dengan orangtua, namun responden lebih sering menghubungi orangtua untuk menanyakan kabarnya, begitupun sebaliknya. Responden juga merasa bebas dari perasaan benci, dendam depresi, iri, dan merasa lega serta lebih damai, berpikir positif dan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, selain itu setelah memaafkan responden dapat bercerita pada orang lain tentang masa lalunya. Diantara ketiga repsonden, CH sempat tidak ingin menjadi seorang ibu namun saat ini perasaan tersebut sudah hilang dan pada saat itu CH sudah bisa menjalin hubungan dengan laki-laki. 3. Menemukan Tujuan Hidup Pada saat ini ketiga responden sudah menemukan makna dan tujuan hidupnya, yaitu untuk memuliakan Tuhan. Hal tersebut membuat responden tidak lagi sembarangan dalam mengambil keputusan dihidupnya. Responden juga ingin memiliki keluarga yang melayani Tuhan. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN 420 MEMAAFKAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN pengasuhan, kasih sayang, atau rasa aman yang penting untuk perkembangan anak yang sehat dan kepribadian yang sehat merupakan penelantaran emosional (Celeste, 1989). 3. Fisik Kekerasan fisik pada anak biasanya mengacu pada perilaku agresi, memukul, meninju, menampar, menendang, memukul dengan benda keras, membakar (Gillham dalam Lamanna & Riedmann, 2006), perilaku yang menyebabkan seorang anak berisiko mengalami cedera. Tiga dari 100 anak berisiko mengalami cedera yang serius setiap tahunnya karena orangtua (Newberger, 1982). Kekerasan fisik dijelaskan sebagai yang disengaja terhadap anak yang berpotensi menyebabkan luka fisik, termasuk disiplin dan hukuman fisik. Kekerasan fisik antara lain memukul, menendang, menampar, meninju, menggigit, mendorong, melempar, menyeret (Leeb, dkk, 2008), dan terlibat dalam hubungan suami-istri yang dominan-pasif (Celeste, 1989), seperti ditemukan dalam penelitian ini. CH yang mengalami kekerasan fisik, antara lain dimasukkan dalam kamar mandi dan disiram berkali-kali, dilempar barang seperti kotak tissue, benda yang terbuat dari rotan, handphone dan pulpen serta peran Ibu dalam rumah tangga cenderung dominan sedangkan peran Ayah menjadi cenderung pasif. Kategori I: Kekerasan yang Dialami Bentuk Kekerasan 1. Emosional atau Psikis a. Mengalami secara Langsung Kekerasan secara emosional terjadi karena orangtua yang terlalu keras dan kritis, tidak memberikan bimbingan kepada anak atau tidak memenuhi kebutuhan anak, menghina secara verbal, mengancam (dengan atau tanpa menggunakan pisau atau senjata) (Lamanna & Riedmann, 2006). Menurut Rice dan Dolgin (2008), kekerasan emosional pada anak termasuk selalu berteriak pada anak, memanggil anak dengan kata-kata yang kasar, selalu memberikan kritikan pada anak dan perkataan yang tidak membangun, menjadikan anak sebagai bahan lelucon, membandingkan seorang anak dengan saudaranya yang lain, mengabaikan dan menolak untuk mendengarkan anak tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, VN dan CH mengalami kekerasan emosional oleh orangtuanya karena keduanya pernah dimaki atau dibodoh-bodohi, dihina atau disebut dengan kata kasar, dibandingkan dengan saudara atau orang lain, dan tidak didengarkan. b. Menyaksikan Kekerasan Kekerasan emosional termasuk juga membiarkan anak menyaksikan kekerasan yang terjadi diantara orangtuanya (Lamanna & Riedmann, 2006). Edleson (dalam Lehmann & Rabenstein, 2002) menjelaskan exposure terhadap kekerasan yang terjadi diantara orangtua pada umumnya diartikan sebagai seseorang yang menyaksikan dan/atau mendengar dan/atau berusaha mengintervensi untuk menghentikan kekerasan. Child exposure awalnya dianggap sebagai suatu kondisi sosial, akan tetapi didefinisikan kembali isu sebagai masalah sosial yang memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental anak. Diantara ketiga responden, hanya AT yang mengalami kekerasan secara tidak langsung yaitu menyaksikan kekerasan yang terjadi diantara orangtuanya. Dampak Kekerasan 1. Diri Sendiri Individu yang menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak akan memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan yang lain dan lebih sering mengalami depresi pada masa dewasanya (Downs & Miller, Silvern dkk. dalam Lamanna & Riedmann, 2006).Anak-anak tersiksa, ketakutan dan memiliki luka emosional yang mendalam karena kemarahan dan kebencian terhadap dirinya. Ketakutan yang patologis, rasa malu, kepasifan, permusuhan dan kebencian yang mendalam, rasa jengkel, sikap dingin, dan ketidakmampuan untuk mengasihi orang lain menjadi dampak dari kekerasan yang dialami (Rice & Dolgin, 2002). Dampak lain yang timbul seperti ketidakmampuan untuk percaya pada orang lain, kesulitan untuk membangun relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, ketidakbahagiaan, gambar diri yang buruk, kabur dari rumah, membolos dari sekolah, dan terlibat dalam tindakan kriminal (Straus & Field, 2003). Menurut Lehmann dan Rabenstein (2002) menyaksikan dan/atau mendengar dan/atau berusaha mengintervensi kekerasan (exposure)akanberdampak terhadap perilaku dan emosional anak tersebut, yaitu anak akan merasa cemas, depresi, menarik diri, bingung dan menyalahkan diri sendiri, serta menunjukkan agresi dan kenakalan. Kekerasan adalah perilaku yang dipelajari sehingga anak yang menyaksikan dan/atau mendengar kekerasan dapat mengulangi kembali ketika sudah berkeluarga. Kekerasan yang terjadi semasa 2. Penelantaran Penelantaran anak adalah perhatian fisik maupun emosional yang tidak memadai terhadap anak. Salah satu alasan terjadinya kondisi seperti ini adalah masalah ekonomi orangtua atau secara sengaja diabaikan (Gillham dalam Lamanna & Riedmann, 2006). Penelantaran adalah kegagalan untuk bertindak atas kepentingan anak atau suatu tindakan kelalaian. Penelantaran mungkin dianggap sebagai praktik membesarkan anak yang pada dasarnya tidak memadai atau berbahaya. Penelantaran mungkin tidak menghasilkan tandatanda yang jelas terlihat, dan biasanya terjadi selama periode waktu tertentu (Celeste, 1989). Penelantaran emosional adalah kegagalan untuk memberikan dukungan atau afeksi yang diperlukan untuk perkembangan psikologis dan sosial anak. Kegagalan dari orangtua untuk memberikan pujian, 421 Y. YOELA DAN D. H. TOBING kanak-kanak dapat menyebabkan depresi saat dewasa, harga diri rendah, dan perilaku kriminal pada saat dewasa. Penemuan dalam penelitian ini tidak semuanya sesuai dengan teori-teori yang dikemukakan diatas, dampak kekerasan yang dialami oleh responden terhadap diri sendiri adalah emosinya menjadi tidak stabil dan sensitif, merasa tidak bahagia dan hidup tidak adil sehingga timbul rasa iri karena responden membandingkan keadaannya dengan orang lain yang tidak mengalami hal serupa, adanya keinginan untuk merantau atau tidak tinggal di rumah, dan ada saat-saat responden ingin kabur dari rumah. Dampak lain yang hanya dirasakan oleh CH adalah keengganan untuk menjadi seorang ibu karena takut ketika suatu hari menjadi seorang ibu, CH akan berlaku seperti Ibunya. Hal tersebut sejalan dengan penemuan beberapa studi menemukan salah satu prediktor perempuan melakukan atau mengalami kekerasan pada masa dewasanya adalah pengalaman kekerasan pada masa anak-anaknya (Burge, 2011). komunikasi, dan kesulitan untuk mempercayai orang lain (Felitti, Garnefksi & Arends, Mullen dkk., Muller & Lemieux dalam Williams, 2006), sangat berhati-hati dan waspada, tidak mampu untuk percaya pada orang lain, kesulitan untuk berelasi dengan teman sebaya dan orang dewasa (Straus & Field, 2003). Ditemukan bahwa ada pengaruh negatif jangka panjang terhadap kekerasan dalam relasi intim masa dewasa akibat trauma menyaksikan atau mengalami kekerasan pada masa anak-anak (Margaretha & Nuringtyas & Rachim, 2013). Dampak-dampak tersebut sesuai dengan hasil dalam penelitian ini, yaitu adanya masalah dalam membangun hubungan dengan orang lain, termasuk sulit membuka diri pada laki-laki dan sangat selektif dalam memilih pasangan hidup. Masalah tersebut terjadi karena responden tidak mudah percaya pada orang lain, responden membutuhkan waktu untuk percaya. Kesulitan mempercayai orang lain membuat responden tidak menceritakan pengalaman kekerasannya karena responden merasa tidak perlu menceritakan masalahnya kepada orang lain. Kategori II: Proses Memaafkan Fase Menyadari Kemarahan 1. Emosi Negatif yang Timbul Luka yang dirasakan akibat kekerasan dapat mengakibatkan munculnya emosi spontan yang kuat seperti amarah, ketakutan, kesedihan, terror dan depresi (McCullough, Sandage & Worthington, 1997). Emosi adalah perasaan atau afeksi yang dapat melibatkan ketergugahan fisiologis, pengalaman disadari dan ekspresi perilaku (King, 2010). Goleman (dalam Ali & Asrori, 2015) mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi, seperti amarah, kesedihan, jengkel, dan malu. Keadaan emosi dinilai dalam kategori yang dibentuk dimensi ini, misalnya emosi positif seperti kegairahan dan kebahagiaan dapat dengan mudah dibedakan dari emosi negatif seperti kemarahan atau muak. Diantara emosi positif, emosi yang membangkitkan seperti kegairahan dan kesenangan bisa dibedakan dari emosi yang tidak membangkitkan seperti penghinaan. Emosi negatif yang membangkit seperti takut dan marah juga dapat dibedakan dari emosi negatif yang tidak membangkitkan seperti kesedihan (Russell & Bullock dalam Taylor & Peplau & Sears, 2009). Pada penelitian ini ditemukan responden merasakan emosi amarah, sedih, takut dan jengkel karena peristiwa kekerasan yang terjadi, yaitu merasa kesal, benci, dan marah terhadap orangtua yang melakukan kekerasan, serta ketakutan bahwa kekerasan akan terjadi kembali, takut mengajak temanteman untuk datang ke rumah karena takut jika orangtua merespons tidak enak dan memiliki ketakutan dalam memilih pasangan. Emosi yang dirasakan digolongkan sebagai emosi negatif, baik yang membangkitkan maupun tidak. 2. Keluarga Menurut McCullough, Sandage dan Worthing (1997) tindakan kekerasan dapat merusak hubungan yang dimiliki. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kekerasan yang dialami memberikan dampak terhadap hubungan di dalam keluarga. Respons menghindar akibat kekerasan membuat hubungan responden dengan orangtua menjauh. Responden kehilangan rasa percaya terhadap orangtua, tidak berani mengambil keputusan dan berpendapat di tengah keluarga, menjadi cuek terhadap keluarga, berpikiran sangat negatif terhadap orangtua yang melakukan kekerasan, dan berusaha untuk diakui oleh orangtuanya. Responden juga merasa tidak dikasihi, karena menurutnya jika orangtua mengasihinya maka seharusnya tidak melakukan kekerasan. Beberapa penemuan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hargrave (1994), yaitu suatu hubungan dianggap menyakitkan ketika individu merasa dirinya menjadi korban dari orang yang tidak bertanggung jawab dan malu karena merasa dirinya tidak dikasihi. Kekerasan yang dialami merusak kepercayaan individu terhadap pelaku (Hargrave, 1994). Kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya akan menimbulkan luka dalam hati anak, penolakan yang sering terjadi dari pihak orangtua akan mengakibatkan penolakan anak terhadap dirinya. Bila hal itu terjadi berulang kali, maka akan menyebabkan rasa kurang berharga (Bock, 2011). Anggraeni (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa kekerasan dalam keluarga membuat korban menarik diri dari lingkup rumah tangganya. 3. Lingkungan Sosial Pada umumnya, individu sebagai korban kekerasan akan memiliki masalah dalam membina hubungan dekat dengan orang lain, memiliki perasaan terisolasi, masalah 2. Respons terhadap Kekerasan 422 MEMAAFKAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN Menurut Kremer, Stephens, McCullough, Fincham, Tsang dan Rusbult (dalam Worthington, 2005) kekerasan yang dialami individu akan menimbulkan tindakan yang negaitf, seperti menghindari pelaku, menyimpan atau ingin melakukan balas dendam, dan menuntut penebusan atau ganjaran. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wibowo (2009) dan Kremer, Stephens, McCullough, Fincham, Tsang dan Rusbult (dalam Worthington, 2005), di dalam penelitian ini ditemukan bahwa VN, AT dan CH merespons kekerasan yang dialaminya dengan menghindari orangtua yang melakukan kekerasan yaitu menjaga jarak dan menjauh, tidak menegur, tidak mau atau membatasi komunikasi dengan orangtua yang melakukan kekerasan kecuali untuk mengungkapkan kekesalan yang dirasakan responden. Kekerasan yang dialami juga membuat responden tidak ingin mengingat dan semakin tidak peduli terhadap orangtua yang melakukan kekerasan. Respons tersebut muncul karena adanya emosi negatif yang dirasakan oleh masing-masing responden. baru, seperti memaafkan merupakan kunci untuk pemulihan. Saat individu menemukan makna dari penderitaan yang dialami, maka proses pemulihan akan berjalan. Menemukan makna dari penderitaan dapat meringankan beban dari rasa sakit yang dirasakan dan meningkatkan perubahan positif dalam hidup individu. Pada penelitian ini ditemukan bahwa setelah memaafkan, responden menemukan makna dari kekerasan yang pernah dialaminya. Responden belajar bahwa setiap orang memiliki cara mengasihi yang berbeda, termasuk orangtuanya sehingga responden melihat bahwa kekerasan yang dilakukan pada dasarnya merupakan cara orangtua untuk mengasihi. Orangtua ingin responden agar menjadi lebih baik, melalui kekerasan juga pribadi responden terbentuk walaupun merasa bahwa kekerasan bukan cara yang tepat untuk menunjukkan kasih. Ketiga responden mensyukuri kekerasan yang pernah dialaminya karena responden belajar menjadi kuat dan tangguh, lebih mawas diri, menghindari contoh yang buruk dan berkeinginan untuk tidak mengulangi kekerasan yang pernah dialami, mengambil hal yang baik yang bisa dipelajari dari didikan keluarga dan keluarga harmonis lain, mengerti posisi orang lain dan tidak langsung menyalahkan atau menilai negatif orang lain karena setiap orang memiliki alasan dari apa yang dilakukannya. Fase Memutuskan untuk Memaafkan 1. Motivasi Memaafkan Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan ketiga responden sadar bahwa cara pandanganya terhadap orangtua yang melakukan kekerasan tidak sehat dan menemukan penting untuk memaafkan baik secara rohani maupun jasmani. Hal tersebut didorong oleh pengertian bahwa Tuhan sangat mengasihi responden dan telah mengampuni, berdasarkan teori yang dikemukakan Enright (2005) individu harus menyadari ketidaksempurnaannya dan membutuhkan maaf dari orang lain pada waktu-waktu tertentu. Pengertian lain yang diperoleh adalah Tuhan ingin responden untuk memaafkan karena memaafkan merupakan perintah Tuhan, selain itu bagi VN, Ibunya juga menjadi motivasi dalam memaafkan Ayah karena dorongan dan teladan Ibu. Hal tersebut jika dikaji dengan teori Trainer (dalam McCullough, Sandage & Worthington, 1997), maka motivasi ketiga responden untuk memaafkan adalah role-expected yaitu adanya harapan dari figur otoritas seperti Tuhan atau orang lain untuk memaafkan, dan bersifat memaksa. Motivasi roleexpected menjadi motivasi yang kurang kuat bagi individu untuk memaafkan. Individu akan kesulitan untuk memaafkan jika motivasinya untuk terlihat baik dimata orang lain, untuk menghindari hukuman atau memberi keuntungan untuk diri sendiri. Fase Mendalami 1. Menemukan Makna dari Kekerasan yang Dialami Frankl (Enright, 2005) mempercayai bahwa individu dapat menemukan makna dari penderitaan yang dialami. Menurutnya, individu tidak dapat merubah masa lalu, namun dapat merubah sikapnya terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang dialami dengan mencari makna dari hal tersebut. Memaafkan memberikan individu berbagai insight 2. Perubahan setelah Memaafkan Hasil dalam penelitian ini terkait perubahan yang dirasakan responden setelah memaafkan adalah kebebasan dari rasa benci, dendam, depresi dan iri, serta merasakan damai. Memaafkan membantu responden berpikir positif dan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, menjadi lebih terbuka mengenai pengalaman masa lalunya kepada orang lain. Responden dapat mensyukuri kekerasan yang pernah dialaminya, dan saat ini melihat keluarga sebagai anugerah dan tempat bersandar serta merupakan segalanya bagi responden. Affinito (1999) mengungkapkan tercapainya keputusan untuk mengampuni akan memberikan kelepasan bagi hati nurani individu dan individu merasa lebih baik setelah melepaskan emosi negatif yang dirasakan. Memaafkan dapat mengurangi depresi, kebencian, kemarahan, kedengkian, perasaan sakit, gejala fisik karena stres, berbagai kecanduan serta jeratan rasa bersalah dalam hubungan antar manusia. Memaafkan juga dapat meningkatkan kemampuan individu untuk memercayai orang lain, memutus siklus luka batin, dan kemampuan sosial (Soesilo, 2006). Menurut Affinito (1999), keuntungan yang timbul akibat individu memaafkan adalah kesehatan emosi dan fisik yang lebih baik, hubungan yang lebih hangat dengan orang lain, harga diri yang lebih baik, ketenangan ditengah dunia yang penuh dengan kekerasan, tidak diatur atau diperbudak oleh pelaku dan terhindar dari efek balas dendam. 423 Y. YOELA DAN D. H. TOBING Anggraeni, R. (2013). Dampak kekerasan anak dalam rumah tangga. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa I(I): 1-4. 3. Menemukan Tujuan Hidup Ketiga responden dalam penelitian ini telah menemukan tujuan hidupnya, yaitu untuk memuliakan Tuhan dengan hidupnya. Hal tersebut membuat responden tidak sembarangan lagi dalam mengambil keputusan, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Enright (2005). Menurutnya, menemukan tujuan hidup tidak hanya mengubah sikap individu terhadap masa depan tetapi juga memberikan arahan kepada individu. Armenia, R. (2016, Januari). KPAI: Tren kekerasan anak pada 2015 menurun dibanding 2014. CNN Indonesia. Bock, W. (2011). Anak terluka anak ajaib: Penyembuhan luka batin masa kecil. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Kanisius. Burge, S. (2001). Woman battering. Dalam Rosenfeld, J. (Ed.), Handbook of woman’s health (hal 401 – 421). New York: Cambrige University Press. Berdasarkan penemuan dalam penelitian ini, maka disarankan bagi perempuan yang pernah atau masih mengalami kekerasan oleh orangtua untuk memaafkan. Memaafkan dapat membuat individu memiliki pandangan yang baru mengenai orangtua yang melakukan kekerasan. Perubahan pandangan akan diikuti dengan perubahan perasaan dan tindakan individu yang memaafkan, sehingga melalui memaafkan hubungan dengan orangtua yang melakukan kekerasan dapat membaik. Individu diharapkan dapat meningkatkan aspek/kehidupan spiritual dan bergabung dalam komunitas yang sehat karena kedua hal tersebut dapat membantu individu untuk memaafkan dan membantu selama proses memaafkan berlangsung. Saran lain yang dapat diberikan adalah terhadap orangtua, yaitu untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anak karena dapat menimbulkan dampak negatif jangka panjang bagi anak yang mengalaminya, sehingga diharapkan orangtua tidak menggunakan kekerasan dalam mengasuh dan mendidik anak. Pemerintah atau institusi terkait juga diharapkan peka dengan kebutuhan korban kekerasan, salah satunya memberikan terapi atau tindak lanjut yang tepat terkait trauma yang dirasakan dan terapi memaafkan, memberikan konseling kepada orangtua yang melakukan kekerasan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mendidikan serta memaparkan dampak-dampak yang dapat terjadi akibat kekerasan pada masa anak-anak. Pemerintah juga dapat memfasilitasi kedua pihak untuk melakukan rekonsiliasi. Saran untuk peneliti lain, adalah lakukan observasi terhadap hubungan antara korban dan pelaku setelah korban memaafkan atau keduanya mengalami rekonsiliasi, serta menggunakan kriteria responden yang berbeda, seperti lakilaki, atau perempuan pada rentang usia lain untuk melihat apa ada perbedaan dampak yang dialami akibat kekerasan, serta proses memaafkannya. Celeste, R. (1989). Child abuse and neglect. Ohio: Ohio Department of Human Services. Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Grasindo. Enright, R. (2005). Forgiveness is a choice: a Step by step process for resolving anger and restoring hope. Washington DC: A.P.A Lifetool. Enright, R., North, J. (1998). Exploring forgiveness. New York: The University of Wisconsin Press. Escher, D. (2013). How does religion promote forgiveness? Linking beliefs, orientations, and practices. Journal for the Scientific Study of Religion. 52(1):100 – 119. Fataruba, R., Purwatiningsih, S., Wardani, Y. (2009). Hubungan pola asuh dengan kejadian kekerasan terhadap anak usia sekolah (6 – 18 tahun) di Kelurahan Dufa-dufa Kecamatan Ternate Utara. Kes Mas. Vol. 3. No. 3: 162-232. Fatimah, S. N. (2012). Dinamika konsep diri pada orang dewasa korban child abuse. Empathy. Vol. I. No. 1. Gunarsa, S., Gunarsa, Y. (2008). Psikologi perkembangan: Anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia. Hargrave, T. D. (1994). Families and forgiveness: Healing wounds in the intergenerational family. New York: Taylor & Francis Group. Herdiansyah, H. (2015). Metode penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: Salemba Humanika. Hidayat, A. (2016, Februari). Menteri Yohana deklarasi kampanye anti kekerasan anak. Nasional Tempo. DAFTAR PUSTAKA Henderson, M. 2003. Forgiveness: Breaking the chain of hate. 2nd rev. ed. Amerika Serikat: Arnica Publishing, Inc. Affinito, M. (1999). When to forgive. Oakland: New Harbinger Publications, Inc. Herdiyansyah, H. 2002. Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: Salemba Humanika. Ali, M., Asrori, M. (2015) Psikologi remaja: Perkembangan peserta didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta. 424 MEMAAFKAN PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN Hurlock, E. (1978). Perkembangan anak. Jakarta: Penerbit Erlangga. Siregar, C. (2012). Menyembuhkan luka batin dengan memaafkan. Humaniora. Vol. 3. No. 2: 581-592. King, L. (2010). Psikologi umum buku 2 (sebuah pandangan apresiatif) terjemahan. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Soesilo, V. (2006). Mencoba mengerti kesulitan untuk mengampuni: Perjalanan menuju penyembuhan luka batin yang sangat dalam. Veritas: Jurnal teologi dan pelayanan Vol. 7 No. 1: 115 – 125 Lamanna, M. A., Riedmann, A. (2006). Marriages & families: Making choices in a diverse society. California: Thomson/Wadsworth. Solihin, L. (2004). Tindakan kekerasan pada anak dalam keluarga. Jurnal pendidikan Penabur no 3. Leeb, R., Paulozzi, L., Melanson, C., Simon, T., Arias, I. (2008). Child maltreatment surveillance. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Sugiyono. (2014). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Penerbit Alfabeta. Straus, M., Field, C. (2003). Psychological aggression by american parents: national data on prevalence, chronicity and severity. Journal of marriage and family. Vol. 65. No. 4: 759-808 Lehmann, P., Rabenstein, S. (2002). Children exposed to domestic violence: the role of impact, assessment, and treatment. Dalam Roberts, Albert R. (Ed.), Handbook of domestic violence intervention strategies (hal 343 – 351). New York: Oxford University Press. Taylor, S. Peplau, L. Sears, D. (2009). Psikologi sosial edisi kedua belas. Jakarta: Kencana Predana Media Group Lestari, S. (2013). Psikologi keluarga: Penanaman nilai dan penangan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Venny, A. (2003). Memahami kekerasan terhadap perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan Foundation. Margaretha, R., Nuringtyas, R., Rachim, R., (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim. Makara seri sosial humaniora, 17(1): 33-42. DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1800. Wibowo, I. (2009). Sikap. Dalam Sarwono, S., Meinarno, E. (Ed). Psikologi sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Williams, B. (2006). Marriages, families, and intimate relationships: a practical introduction. Boston: Pearson Education, Inc. McCullough, M., Sandage, S., Worthington, E. (1997). To forgive is human: How to put your past in the past. Madison: InterVarsity Press. Worthington, E. (2005). Handbook of forgiveness. New York: Routledge. Mutiah, D. (2015, Desember). 5 kisah anak korban kekerasan paling memilukan sepanjang 2015. Liputan6. Yoela, Y. (2016). Studi pendahuluan: Perilaku memaafkan remaja perempuan yang pernah mengalami kekerasan pada masa anak-anak. (Naskah tidak diterbitkan). Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Newberger, E. (1982). Child abuse. Michigan: Little Brown. Rahmawati, P. (2015). Hubungan antara Kepercayaan dan Keterbukaan Diri terhadap Orangtua dengan Perilaku Memaafkan pada Remaja yang Mengalami Keluarga Broken Home di SMKN 3 & SMKN 5 Samarinda. eJournal Psikologi, 3 (1) : 395-406. Reid, P., Cooper, S., Banks, K. (2008). Girls to women: developmental theory, research and issues. Dalam Denmark, F., Psychology of women: A handbook of issues and theories (hal 237 – 270). Westport: Greenwood Publishing Inc. Rice, P., Dolgin, K. (2002). The adolescent: Development, relationship and culture. Amerika Serikat: Pearson Education, Inc. Rice, P., Dolgin, K. (2008). The adolescent: Development, relationship and culture. 12th Ed. Amerika Serikat: Pearson Education, Inc. Setyawan, D. (2015, Juni). KPAI: Pelaku kekerasan terhadap anak tiap tahun meningkat. KPAI 425